Logika Pelayaran India-Cina dalam Pembentukan Kerajaan Pedagang
Munoz, dengan latar belakang sebagai Master Mariner dan Marine Engineer dan pengalaman di merchant navy selama 20 tahun, mampu dan berani menyumbangkan keilmuannya tersebut dalam menganalisa perkembangan pola-pola pelayaran Cina – India melalui wilayah perairan Nusantara dan pengaruhnya terhadap pola pengembangan kerajaan-kerajaan yang tumbuh di sepanjang rute pelayaran tersebut. Munoz menganalisa, pelayaran dari Timur Tengah dan India ke Cina (awal Masehi dan abad pertengahan) pulang pergi akan memakan waktu sekitar 12 hingga 18 bulan. Lama perjalanan ini akan terlalu lama untuk para pelaut, oleh karena itu dengan pertimbangan logistik praktek alih muatan antar kapal di pelabuhan India atau Asia Tenggara merupakan suatu hal yang umum berlaku. Para kapten/ saudagar Timur Tengah/ India dapat menjual muatannya ke pedagang lokal atau langsung ke para pedagang Indocina/ Cina, sebaliknya mereka juga membeli produk lokal atau Cina untuk dijual di pasar India, Timur Tengah dan Eropa. Para saudagar tersebut biasanya membayar upeti kepada penguasa setempat yang telah memberikan fasilitas tempat untuk bertranksaksi dengan aman dan nyaman. Ada juga perusahaan dagang yang untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar tidak melakukan praktek alih muatan di pelabuhan persinggahan tetapi melanjutkan angkutan muatan tersebut hingga ke Kanton. Praktek semacam ini memerlukan jaringan kantor dagang yang menyediakan pelayanan keamanan dengan depot berbentengnya. Naik turunnya kemakmuran dari kerajaan-kerajaan maritim di Asia Tenggara sangat dipengaruhi oleh intensitas dan perilaku dagang yang terjadi yang merupakan akibat dari kejadian-kejadian yang ada di tanah India dan Cina. Ketika kerajaan-kerajaan di India dan Cina dalam keadaan damai dan baik perekonomiannya (Abad 9 dan 10M), perekonomian kerajaan maritim menguat dan mampu memperkuat posisi kekuasaannya, tetapi ketika perdagangan internasional ini melemah maka kerajaan-kerajaan maritim yang lemah pun turut menghilang. Pada masa ini (Abad 9 dan 10M) Kedatuan Sriwijaya dapat memonopoli jaringan pelabuhan di sepanjang Selat Sunda, Selat Karimata dan Selat Malaka. Walaupun begitu menarik sekali untuk menelaah lebih lanjut hipotesa Munoz di hal.149 yang menyatakan bahwa sebagian besar perdagangan yang dijalankan di Sriwijaya dilakukan dengan cara barter. Masa kejayaan kerajaan maritim di Asia Tenggara berakhir ketika rekan dagang asingnya mulai mengendalikan sepenuhnya operasi dagangnya. Gejalanya sudah dimulai semenjak kantor dagang-kantor dagang besar dari India Selatan mulai mengibarkan benderanya di Asia Tenggara (Abad 11M), yang puncaknya pada abad yang sama Kerajaan Chola (Dravida) melakukan aksi sapu bersih terhadap pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya. Tetapi yang paling melemahkan adalah ketika Dinasti Song mulai membangun kekuatan dagang lautnya dan para pedagang Cina mulai bermukim di Negara-negara Asia Tenggara untuk membuat jaringan dagangnya sendiri (Abad 12M), yang puncaknya Admiral Zheng He (Cheng Ho) dari Dinasti Ming membuat manuver-manuver politik di pelabuhan-pelabuhan Nusantara (Abad 15M). Entah bagaimana kemudian kerajaan-kerajaan di Nusantara malah semakin sibuk dengan “urusan” antar keluarga kerajaan sehingga akhirnya perusahaan-perusahaan dagang dari Eropa yang membawa kekuatan militer menguasai pelabuhan-pelabuhan di perairan Nusantara dan mematikan perusahaan-perusahaan pelayaran lokal. Di sini kita dapat mengambil hikmah pentingnya kita memiliki swadaya dan swasembada produksi komoditas perdagangan, tidak hanya sekadar menjadi calo/ agen penjualan merek asing, dan untuk itu kita harus belajar lebih menghormati para produsen merek-merek Indonesia.
Evolusi Politik Kekuasaan
Tahap pembangunan kekuasaan politik di Asia Tenggara memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan standar pembangunan kerajaan-kerajaan di Cina, India, Eropa, dll. di zamannya. Dengan mengutip tulisan Kulke, Munoz membagi proses pembangunan kekuasaan politik Negara di Asia Tenggara menjadi tiga tahap: 1. Tahap Lokal. Pada tahap ini konsolidasi kekuasaan terbatas pada wilayah yang kecil, yang sering merupakan jaringan pemukiman yang terorganisir pada suatu wilayah. Para pemimpin lokal nya belum memiliki kemampuan penaklukan militer terhadap komunitas tetangganya, tetapi dapat melakukan serbuan-serbuan singkat untuk melakukan perampasan-perampasan. 2. Tahap Regional. Pada tahap ini para pemimpin daerah sudah mampu meperluas kekuasaannya ke daerah tetangga melalui penaklukan militer. Walaupun begitu penaklukan ini tidak diikuti dengan asimilasi ataupun penghancuran, tetapi penguasa taklukan tetap dibiarkan berkuasa dengan kewajiban membayar upeti dan tunduk pada perintah penguasa penakluk. Penguasa taklukan (Rakai, Datu, dll.) masih memiliki kekuasaan atas wilayah adatnya. Pada fase ini terjadi perubahan yang dinamis dari komposisi dinasti penguasa, lokasi pusat kekuasaan, dan batas wilayah kekuasaan yang amorphous. Sistem semacam ini, Munoz memberikan istilah kekuasaan “mandala”, yaitu suatu wilayah pengaruh (daerah adat-istiadat tanpa batas daerah yang jelas) atau juga wilayah kekuasaan yang khusus (mis. suatu pelabuhan dan area pemukimannya, suatu pertanian dan area pemukimannya, dll.). Contoh yang jelas dapat dilihat lebih jauh di dalam buku ini bagaimana Dinasti Sailendra dan Dinasti Sanjaya mengkonsolidasikan mandalanya masing-masing (termasuk perebutan pengaruh di Selat Sunda, Abad 10M), juga di masa ketika Dinasti Sanjaya merupakan bagian dari mandala Dinasti Sailendra (Abad 9M), dan diplomasi kekeluargaan pada masa Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokesvara Dharmavamsa Airlangga Anantavikramottungadeva (Abad 11M). 3. Tahap Imperial. Sepanjang sejarah Asia Tenggara tahap ini jarang sekali tercapai dimana dua mandala atau lebih tergabung dalam kesatuan administrasi kerajaan. Ciri khas pada tahap ini adalah wilayah taklukan bertransformasi menjadi wilayah administrasi provinsi. Hanya ada tiga kerajaan yang mencapai tahap ini, yaitu Dinasti Angkor di Kamboja (Abad 9M), Dinasti Pagan di Irawadi Birma (Abad 11M), dan Dinasti Rajasa di Singosari dan Majapahit (Abad 13–14M). Pada tahap imperial ini, para Rakai (raja daerah) yang ditaklukan diganti posisinya oleh Gubernur propinsi yang dipilih dari anggota keluarga besar Raja. Para gubernur ini membuat replika pemerintahan pusat di daerahnya dengan skala yang lebih kecil. Sebagai kompensasi pengambilalihan tanah mereka, para Rakai (dan keluarganya) diberikan posisi di pemerintahan pusat. Seperti halnya yang terjadi pada Raden Wijaya yang merupakan Pangeran Galuh (Kerajaan Pakuan Pajajaran sendiri baru berdiri pada 1333M) yang diangkat menantu oleh Prabu Kertanegara dan dijadikan komandan militer di Tuban (sekitar 1292M).
Dinamika Kesukuan dan Kedaerahan
Dengan menggunakan data penelitian terkini dari para ilmuwan genetis, Munoz menyampaikan bahwa ternyata kesukuan itu tidak membuktikan adanya kesamaan leluhur. Menurut Munoz kesukuan adalah kumpulan dari marga-marga yang dipersatukan oleh kepentingan sosio-politik yang sama, yang seiring waktu, memiliki kesamaan-kesamaan dalam berbahasa, bertradisi dan berkepentingan (hal. 33). Menarik sekali untuk menyadari bahwa dalam satu millennium terakhir, di Indonesia ini tidak ada satupun suku-suku bangsa yang benar-benar steril berbeda tanpa ada kesamaan warisan satu sama lain. Dalam hal ini, banyak contoh-contoh menarik yang dapat dikaji dari buku ini, misalnya adanya temuan prasasti-prasasti yang menggunakan dua bahasa (Jawa Kuno dan Melayu Kuno) di wilayah Banten dengan artifak-artifak Shiva, yang sebelumnya pada jaman Kerajaan Tarumanegara merupakan daerah penganut Vishnu. Salah satu hal yang memfasilitasi pembauran antar suku dan daerah dari sejak dulu kala adalah adanya migrasi penduduk dengan jumlah dan pengaruh yang cukup untuk terjadinya akulturasi. Ada beberapa modus migrasi yang terjadi, antara lain: membuka lahan penghidupan baru, pengungsian bencana alam, pelarian politik, pemerataan pembangunan (kebijaksanaan kerajaan), dll. Telah disampaikan bahwa pada tahap politik kekuasaan regional penguasa taklukan tetap dibiarkan berkuasa dengan kewajiban membayar upeti dan tunduk pada perintah penguasa penakluk. Akan tetapi bila penguasa yang kalah tetap tidak mau tunduk, maka dia akan melakukan imigrasi pengungsian bersama dengan keluarganya, pendetanya, panglimanya, pengrajinnya, petaninya dan masyarakatnya mengungsi ke suatu tempat yang aman. Di tempat baru tersebut biasanya dia akan mendirikan kerajaan baru dengan ciri khas yang dia bawa. Itulah yang terjadi pada pendirian kerajaan Dinaya di Malang oleh para keluarga Dinasti Sanjaya yang tidak bisa menerima kekuasaan Dinasti Sailendra (760M), pada pendirian kerajaan Banten Girang di Selat Sunda oleh para penganut Shiva Jawa Tengah sekutu Dinasti Sailendra yang menyelamatkan diri setelah kekalahan Prabu Balaputra (856M), juga pada sisa-sisa keluarga dan pengikut Prabu Kertajaya (Raja terakhir Dinasti Sanjaya) yang lari ke daerah Panjalu (Sukapura/ Ciamis) (1222M) untuk menghindari pembantaian oleh Ken Angrok (Pendiri Dinasti Rajasa). Pada suasana damai proses akulturasi telah dilakukan dengan cara-cara: perkawinan antar bangsawan kerajaan (mis. perkawinan antara putri Makutavamsa Vardhana, Mahendradatta, dengan Udayana, yang kemudian menurunkan raja-raja Kediri dan Bali hal. 297), pada masa Majapahit telah terjadi migrasi besar penduduk dari Jawa ke Bali yang telah menjadikan Bali menjadi Bali Majapahit seperti yang kita lihat sekarang ini. Seringkali proses migrasi ini juga disertai dengan penamaan daerah baru yang ditempati sesuai dengan nama daerah asal (hal. 238). Itulah kenapa kita menemukan nama-nama tempat yang kembar seperti: Wanayasa (Utara Bandung dan Barat Wonosobo), Malaka (Baratdaya Bandung dan Semenanjung Melayu), Sukapura (Ciamis dan Baratdaya Probolinggo), Karanganyar (Timur Solo dan Selatan Tasikmalaya), Wates (Baratdaya Yogyakarta dan Tenggara Kediri), dll. Dan proses ini berlangsung terus sesuai dengan dinamika jaman. Seperti yang terjadi di wilayah JaBoDeTaBek, sekarang ini telah lahir suku baru yaitu Suku “Gaul” (bukan Suku Gaul nya Asterix dan Obelix), yaitu masyarakat gaul metropolitan (yang sebetulnya Suku Betawi pun merupakan hasil suku gaul jaman dulu). Gejala inipun juga sudah mulai tumbuh di kota besar lainnya di Indonesia. Dari mempelajari proses dinamika sejarah kesukuan kita mendapatkan hikmah bahwa upaya penghentian roda zaman adalah kesia-siaan yang tidak perlu dan akan memandegkan perkembangan budaya. Partisipasi aktif dalam perubahan zaman justru akan melahirkan suku-suku baru yang akan selalu memiliki budaya yang segar.
Politisasi Agama
Pada halaman 55-60 Munoz menjelaskan, bahwa adanya kompetisi antar jaringan pedagang Buddha dan Vishnu di kota-kota pelabuhan Nusantara Barat telah turut mempengaruhi karakter kerajaan-kerajaan awal di Asia Tenggara (Abad 1 – 6M). Tampaknya pada saat-saat tersebut para pemimpin lokal telah melakukan proses asimilasi secara selektif, dan ini menimbulkan varian-varian lokal yang khas Nusantara. Melalui cerita-cerita para pedagang para pemimpin lokal mulai tertarik lebih jauh akan peradaban asal para pedagang. Ketertarikan ini memicu para pemimpin lokal untuk mengirimkan orang-orangnya atau mendatangkan para brahmana dan bhiksu untuk mempelajari lebih dalam dan mencoba mengaplikasikan secara selektif peradaban negeri seberang tersebut. Munoz berspekulasi bahwa ketertarikan tersebut di antaranya bahwa peradaban negeri seberang tersebut dapat digunakan untuk memperluas kekuasaaan para pemimpin lokal. Motif semacam ini yang bersimbiose dengan motif sebagian brahmana/bhiksu untuk mendapatkan status sosial telah menjadi suatu ekses negatif, yaitu politisasi agama. Ambisi para pangeran/panglima untuk memperkuat posisi politik bertemu dengan ambisi para pemuka agama untuk memperluas umat/ memperkuat posisi di dalam organisasi keagamaan. Itulah yang terjadi pada perang agama terbesar yang pernah terjadi di tanah Jawa yang dikisahkan dalam Kisah Calonarang. Itulah yang terjadi pada pemberontakan gubernur Kamboja pada mandala Sriwijaya. Bahkan pada pemberontakan ini gubernur Kamboja secara khusus mendatangkan pemuka agama dari negeri seberang untuk memutarbalikan ajaran yang dibina Sriwijaya. Politisasi agama juga terjadi sebagai salah satu alat diplomasi antar Negara. Di dalam buku ini diceritakan bagaimana seorang Raja Culamanivarmadeva dari Sriwijaya mendirikan kuil Buddha di Palembang yang khusus diperuntukkan bagi Emperor Cina (Dinasti Song) sekadar untuk mendapatkan dukungan dalam perangnya dengan Raja Dharmavamsa dari Mataram klasik (peperangannya sendiri terjadi dalam rangka hegemoni Selat Sunda). Juga dikisahkan dalam buku ini bagaimana seorang yang haus kekuasaan, Parameshwara, melakukan petualangannya dan kemudian menggunakan Islam sebagai kendaraan politiknya di Semenanjung Melayu. Secara singkat, Parameshwara tadinya adalah seorang pemberontak Majapahit di Palembang, pemberontakan berhasil dipadamkan dan Parameshwara mengungsi ke Singapura, di Singapura Parameshwara melakukan kudeta terhadap gubernur Thailand yang kemudian mengundang kemarahan Kerajaan Thailand, Parameshwara lari ke Malaka, dan di Malaka di bawah perlindungan Admiral Zheng He mendirikan kerajaan baru dan mengganti namanya dengan Megat Iskandar Shah. Karena peristiwa ini sampai sekarang kita akan kesulitan menemukan orang kelahiran Semenanjung Melayu dengan nama asli Melayu. Pola yang mirip-mirip semacam ini pula yang telah terjadi pada politik ekspansi Sultan Trenggana (hal. 291). Manuver-manuver Zheng He (Cheng Ho) bukannya tanpa perlawanan. Pada halaman 184-185 dikabarkan bagaimana seorang bupati Palembang Majapahit (Chen Tsu-yi) sempat melakukan penyerangan terhadap armada Zheng He, walaupun akhirnya kalah. Dari kejadian-kejadian tersebut kita dapat belajar bahwa ternyata kita punya kebiasaan buruk untuk menggunakan agama (apapun agamanya) sebagai kedok kekuasaan. Setelah berabad-abad mempraktekkannya sekarang kita dapat melihat krisis kemanusiaan yang sedang melanda Indonesia. Dalam membaca situasi ini Cak Nur menegaskan,”Agama, Yes! Politisasi Agama, No!”. Pengalaman bersama menunjukkan, pemaksaan mazhab/ sekte agama (standarisasi tatalaku pengenalan Ketuhanan) dalam kehidupan bernegara justru telah merusak kemanusiaan itu sendiri, sebaliknya Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab lah yang justru akan menumbuhkan kesadaran akan rasa Ketuhanan yang sesungguhnya.
Warisan Bangsa
Para leluhur kita telah mewariskan banyak kegemilangan pada generasi-generasi penerusnya. Sangat direkomendasikan bahwa sambil membaca buku ini para pembaca kembali napak tilas ke monumen-monumen sejarah, museum-museum, situs-situs, sehingga dapat langsung merasakan dari benda-benda sejarah yang tersebut dalam buku, yang kemudian dapat memberikan pada kita gambaran yang lebih utuh dan seimbang. Berikut ini beberapa warisan dari para leluhur kita tersebut. Pada puncak masa kejayaannya Federasi Kedatuan Sriwijaya menguasai wilayah dari Jawa Tengah hingga Kamboja. Mengenai bentuk kerajaan yang federasi ini, Munoz banyak membahasnya di sepanjang SubBab Sriwijaya. Itulah mengapa ibu kota Sriwijaya dapat berpindah-pindah dari Palembang, Ligor, Jawa Tengah, Jambi, sesuai dengan posisi tinggal Sri Maharaja yang terpilih oleh suatu dewan kerajaan yang terdiri dari keluarga raja dan raja-raja daerah. Pada masa puncaknya Sriwijaya mewariskan pusaka candi Borobudur (825M). Candi ini dibangun untuk menggambarkan mandala Sriwijaya yang memiliki wilayah membentang dari Jawa Tengah hingga Kamboja, yang di kamadhatu digambarkan kehidupan rakyatnya memiliki keadilan sosial, dan di arupadhatu berkeTuhanan yang Maha Esa. Sebagai seorang mariner Munoz secara khusus menyampaikan apresiasinya terhadap kapal layar yang terpampang pada relief candi Borobudur (hal. 139-140). Munoz menyampaikan secara khusus pengamatannya yang menerangkan bahwa kapal tersebut dibangun dengan teknologi yang canggih pada zamannya. Replika relief ini di Jakarta dapat kita lihat di Jl. Merdeka Barat 8, Gd. Karsa Lt. 1. Pada masa Mataram klasik diwariskan pusaka candi Prambanan (856M) yang berfungsi menggambarkan wilayah Mataram dari Bandung – Bondowoso. Pusaka yang luar biasa yang sampai kini tanpa diduga masih berfungsi walau telah diterpa berbagai cobaan zaman (termasuk gempa Yogyakarta 2006). Sejak dari zaman dulu kala daerah Jawa bagian tengah telah dikenal di seluruh dunia sebagai tempat orang belajar spiritualitas. Pada zaman Kerajaan Holing (Kalingga), tempat berkelananya Pendeta Gunawarman, tempat lahirnya pakar hukum Buddha Janabhadra, tempat belajarnya pendeta Cina Houei-ning. Pada zaman Jayanasa dan Sanjaya merupakan tempat ziarah “siddhiyatra”. Tempat bermukimnya para Guru dari Raja-raja Sriwijaya, mungkin juga termasuk Guru Dharmakirti. Para leluhur kita juga telah melahirkan karya-karya sastra tingkat dunia, seperti “Ila Galigo”, “Negarakertagama”, “Sutasoma”, “Jangka Jayabaya”, “Panji Laras”, dll. Kisah Panji Laras sendiri pada zamannya sudah terkenal hingga Kamboja dan Thailand. Warisan lain yang sangat mahal harganya dari zaman kerajaan-kerajaan klasik adalah semangat penyatuan Nusantara, yang telah dirintis dari sejak zaman Jayanasa, Sanjaya, Sangramadhananjaya, Samaratungga, Rakai Pikatan, Makutavamsa, Airlangga, Kertanegara, Hayamwuruk, dll. Pada bagian akhir bukunya Munoz menyampaikan kesimpulannya yang menyatakan bahwa masa-masa klasik ini telah meninggalkan bekas sejarah yang mendalam yang masih bertahan dalam kehidupan masyarakat sekarang. Semoga dengan membaca buku ini bersama dapat membantu kita saling menjembatani kesenjangan wawasan Kebangsaan yang mungkin ada karena keanekaragaman pengalaman kehidupan. Setelah kita mengarifi apa-apa yang telah kita lakukan bersama terhadap Tanah, Negri, Bangsa dan Rakyat Indonesia dalam berbagai zaman, sekarang akan kita bawa kemana Indonesia kita? Dengan semangat yang telah disuarakan Budayawan Anand Krishna, “SEGEMILANG APAPUN MASA LALUMU, MASA DEPANMU LEBIH CEMERLANG!”, mari kita bersama menjadi Pandu Ibu Pertiwi.
Sumber: http://triwidodo.wordpress.com/2009/03/18/early-kingdoms-of-the-indonesian-archipelago-and-the-malay-peninsula/
0 komentar:
Posting Komentar