ketidak tahuan adalah teman barumu yang terbaik

category

Sabtu, 18 Februari 2012

SOEKARNO DIMATA DUNIA

Gambar Perangko Negara tetangga yang ada gambar Soekarno:


Di Negara Adidaya:


Presiden Sukarno baru tiba di bandara Washington DC, AS, pada siang hari. Didampingi oleh wakil presiden AS, Richard Nixon, Bung Karno disambut penuh oleh pasukan AS dengan 21 kali tembakan kehormatan. Bung Karno tiba di Washington dalam rangka kunjungan selama 18 hari di AS atas undangan Presiden AS, David Dwight Eisenhower (Foto: 16 Mei 1956).

Kalo sekarang SBY ke amrik diperlakukan kayak gini ga ya??



Presiden Sukarno dan Presiden AS, Kennedy, duduk bersama di dalam mobil terbuka, sedang melewati pasukan kehormatan di pangkalan Angkatan Udara AS, MD. Bung Karno datang ke AS dalam rangka pembicaraan masalah insiden Kuba (Foto: 24 April 1961).

Bersama Mantan negara penjajah


Presiden Sukarno menjadi tamu kehormatan Kaisar Jepang, Hirohito, dan pangeran Akihito. Bung Karno dijamu makan siang di istana kekaisaran Jepang di Tokyo (Foto: 3 Pebruari 1958).

Menjadi cover majalah TIMES tahun 1946


Go International


Presiden Sukarno berdiri berdampingan dengan 4 pemimpin negara Non Blok setelah mereka selesai mengadakan pertemuan. Dari kiri kekanan : Pandit Jawaharlal Nehru (Perdana Menteri India), Kwame Nkrumah (Presiden Ghana), Gamal Abdul Nasser (Presiden Mesir), Bung Karno, dan Tito (Presiden Yugoslavia). Kelima pemimpin negara non blok ini mengadakan pertemuan yang menghasilkan seruan kepada Presiden AS, Eisenhower (Presiden AS) dan Perdana Menteri “Uni Soviet”/Rusia, Nikita Khruschev, agar mereka melakukan perundingan diplomasi kembali (Foto: 29 September 1960).


Presiden Sukarno bersama Perdana Menteri Perancis, Pompidou (Foto: 1965).


Presiden Sukarno sedang bercakap-cakap dengan Presiden Kuba, Osvaldo Dorticos Torrado (kiri), dan Perdana Menteri Kuba, Fidel Castro (kanan) di Havana, Kuba (Foto: 9 Mei 1960).


Presiden Sukarno tiba di bandara Karachi, Pakistan. Didampingi oleh Presiden Pakistan, Iskander Ali Mirza, Bung Karno tampak sedang memberi hormat, diapit oleh bendera Indonesia dan bendera Pakistan (Foto: 25 Januari 1958).


MITOS KARTINI DAN REKAYASA SEJARAH

Ada yang menarik pada Jurnal Islamia (INSISTS-Republika) edisi 9 April 2009 lalu. Dari empat halaman jurnal berbentuk koran yang membahas tema utama tentang Kesetaraan Gender, ada tulisan sejarawan Persis Tiar Anwar Bahtiar tentang Kartini. Judulnya: “Mengapa Harus Kartini?”

Sejarawan yang menamatkan magister bidang sejarah di Universitas Indonesia ini mempertanyakan: Mengapa Harus Kartini? Mengapa setiap 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?


Menyongsong tanggal 21 April 2009 kali ini, sangatlah relevan untuk membaca dan merenungkan artikel yang ditulis oleh Tiar Anwar Bahtiar tersebut. Tentu saja, pertanyaan bernada gugatan seperti itu bukan pertama kali dilontarkan sejarawan. Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik 'pengkultusan' R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.

Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”. Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut,” tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University.

Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.

Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.

Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.

Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.

Harsja menulis tentang kisah ini: “Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.”
Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.

Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).
Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer.

Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda. Harsja Bachtriar kemudian mencatat: “Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.”

Karena itulah, simpul guru besar UI tersebut: “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.”

Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini: “Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.”

Dalam artikelnya di Jurnal Islamia (INSISTS-Republika, 9/4/2009), Tiar Anwar Bahtiar juga menyebut sejumlah sosok wanita yang sangat layak dimunculkan, seperti Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (kemudian pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Berikut ini paparan tentang dua sosok wanita itu, sebagaimana dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.

Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.
Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).

Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati.

Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.
Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan,” begitu kata Rohana Kudus.

Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar, penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar bahkan menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam rangkaian penokohan Kartini oleh Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang orientalis Belanda yang memiliki kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi Nusantara. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara.
Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu ((Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini:

“Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.”
Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis:
”Salam, Bidadariku yang manis dan baik!... Masih ada lagi suatu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut: ”Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?” Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya.” (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).

Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk ’menaklukkan Islam’. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.
Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam ’penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ’ulama’. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai ”Mufti Hindia Belanda’. Juga ada yang memanggilnya ”Syaikhul Islam Jawa”. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: ”Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.” (hal. 116).

Snouck Hurgronje (lahir: 1857) adalah adviseur pada Kantoor voor Inlandsche zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu strateginya, adalah melakukan ‘pembaratan’ kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam. Menurut Snouck, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka. Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan adat. (hal. 43).

Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan Islam di Indonesia: “Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan kristenisasi. Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan semangat mereka kearah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi kebudayaan.” (hal. 24).

Itulah strategi dan taktik penjajah untuk menaklukkan Islam. Kita melihat, strategi dan taktik itu pula yang sekarang masih banyak digunakan untuk ‘menaklukkan’ Islam. Bahkan, jika kita cermati, strategi itu kini semakin canggih dilakukan. Kader-kader Snouck dari kalangan ‘pribumi Muslim’ sudah berjubel. Biasanya, berawal dari perasaan ‘minder’ sebagai Muslim dan silau dengan peradaban Barat, banyak ‘anak didik Snouck’ – langsung atau pun tidak – yang sibuk menyeret Islam ke bawah orbit peradaban Barat. Tentu, sangat ironis, jika ada yang tidak sadar, bahwa yang mereka lakukan adalah merusak Islam, dan pada saat yang sama tetap merasa telah berbuat kebaikan.

Kamis, 16 Februari 2012

SAJAK SEBATANG LISONG


menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit
dua tiga cukung mengangkang
berak di atas kepala mereka

matahari terbit
fajar tiba
dan aku melihat delapan juta kanak – kanak
tanpa pendidikan

aku bertanya
tetapi pertanyaan – pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet
dan papantulis – papantulis para pendidik

yang terlepas dari persoalan kehidupan

delapan juta kanak – kanak
menghadapi satu jalan panjang
tanpa pilihan
tanpa pepohonan
tanpa dangau persinggahan
tanpa ada bayangan ujungnya
……………………..

menghisap udara
yang disemprot deodorant
aku melihat sarjana – sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiunan

dan di langit
para teknokrat berkata :

bahwa bangsa kita adalah malas
bahwa bangsa mesti dibangun
mesti di up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

gunung – gunung menjulang
langit pesta warna di dalam senjakala
dan aku melihat
protes – protes yang terpendam
terhimpit di bawah tilam

aku bertanya
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair – penyair salon
yang bersajak tentang anggur dan rembulan
sementara ketidak adilan terjadi disampingnya
dan delapan juta kanak – kanak tanpa pendidikan
termangu – mangu di kaki dewi kesenian

bunga – bunga bangsa tahun depan
berkunang – kunang pandang matanya
di bawah iklan berlampu neon
berjuta – juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau
menjadi karang di bawah muka samodra
……………………………

kita mesti berhenti membeli rumus – rumus asing
diktat – diktat hanya boleh memberi metode
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa – desa
mencatat sendiri semua gejala
dan menghayati persoalan yang nyata

inilah sajakku
pamplet masa darurat
apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan

WS RENDRA

GELOMBANG GELAP


gelombang gelap menyapu negeriku
memedihkan mata dan hatiku

siapa kalian menggiring gelap
atas panorama bumiku yang elok gemerlap?

kenikmatan apa yang kalian cari
maka segala milik kami
kalian curi
hingga secercah harapan yang tersisa

pada kami?

kalian bakar hutan dan dendam
hingga kobarannya sampai kini
tak kunjung padam
gelombang gelap menyapu negeriku
mengacaukan akal sehat
orang-orang waras
menghentikan kesibukan kerja para pekerja
merusuhkan belaian kasih sayang para penyayang
menjauhkan keakraban saudara dengan saudara
mengganggu keasyikan bermain bocah-bocah
mengusik kekhusukan para mukmin beribadah



gelombang gelap menyapu negeriku
Tuhan, ampunilah kami
yang tanpa sadar ikut memperpekat gelap
yang mereka giring kemari
dan datanglah kembali
dengan maha cahya Mu



Gus Mus, 1998

Senin, 13 Februari 2012

Nuh: Kalau Jurnalnya Kurang, Ya Dibuat...

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan, ada langkah yang bisa dilakukan untuk menampung ledakan makalah yang harus dimuat dalam jurnal ilmiah sebagai salah satu syarat lulus perguruan tinggi. Hal ini berkaitan dengan mulai diberlakukannya surat edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi bagi mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 yang lulus setelah Agustus 2012 untuk memublikasi karya tulis ilmiahnya.

Menurut Nuh, kekhawatiran akan terbatasnya jumlah jurnal ilmiah bisa diatasi dengan membuat media (jurnal) baru. Proses pembuatan jurnal ilmiah, ujar dia, tidak sulit.

"Kalau medianya (jurnal) kurang, ya, dibuat saja. Karena membuat jurnal itu mudah," kata Nuh, Senin (6/2/2012), di Gedung Kemdikbud, Jakarta.

Saat akan membuat jurnal ilmiah, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia melalui Pusat Dokumentasi Ilmiah Indonesia (PDII) memiliki tugas mengelola daftar jurnal ilmiah. Jurnal ilmiah dinyatakan resmi ketika memiliki international standard serial number (ISSN).

"Proses membuat jurnal ilmiah gratis dan tak sampai seminggu. Daftarkan ke LIPI, beri nama agar dicek supaya tidak dobel. Cantumkan juga nama editornya. Setelah dapat ISSN berarti jurnal tersebut telah sah," ujar Nuh.

Menurutnya, pembuatan jurnal ilmiah akan menciptakan rentetan yang luar biasa. Para dosen yang namanya tercantum sebagai editor akan berpikir lebih keras demi menciptakan jurnal ilmiah yang berkualitas. Untuk memperoleh akreditasi Dikti, setiap jurnal ilmiah harus memenuhi tiga hal yang menjadi penilaian utama, yaitu kontiniunitas, konten, dan distribusi.

"Semudah itu sehingga produktivitas kita dalam publikasi jurnal ilmiah akan naik secara nasional, ataupun internasional," kata Nuh.

Sementara itu, tambahnya, makalah mahasiswa yang dipublikasikan dapat dimuat dalam jurnal fakultas yang tersedia di tiap universitas. Jika belum tersedia, universitas dapat mendaftarkan jurnal ilmiah yang akan dibuatnya melalui Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).



Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2012/02/07/09565324/Nuh.Kalau.Jurnalnya.Kurang.Ya.Dibuat.

PTS Tolak Publikasi untuk Kelulusan

Perguruan tinggi swasta dalam Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia menolak kewajiban memublikasikan karya ilmiah mahasiswa di jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan, tetapi mendorong lulusan program pascasarjana dan doktor untuk menulis karya ilmiah.

Karya ilmiah itu diharapkan dimuat pada jurnal skala nasional ataupun internasional. ”Perguruan tinggi swasta (PTS) memahami niat dan tujuan baik Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi yang menginginkan kualitas lulusan sarjana, magister, dan doktor meningkat, terutama terkait peningkatan jumlah karya ilmiah. Tetapi, publikasi ilmiah di jurnal ilmiah tidak harus dikaitkan dengan kelulusan mahasiswa,” kata Edy Suandi Hamid, Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi). Sikap Aptisi itu diputuskan dalam Rapat Pengurus Pusat Pleno di Padang, Sabtu (11/2).

Edy, yang juga Rektor Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, mengatakan, memang saat ini jumlah karya ilmiah yang dihasilkan perguruan tinggi masih sangat terbatas. Namun, peningkatan publikasi ilmiah di Indonesia tidak mesti harus mengaitkan dengan kelulusan.

Akan tetapi, lanjutnya, dorongan tersebut harus menjadi kesadaran setiap perguruan tinggi. Setidaknya, perguruan tinggi mendorong mahasiswanya untuk mengembangkan sikap inovatif. 

Sesuai dengan surat edaran Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti), syarat kelulusan mahasiswa S-1 setelah Agustus 2012 adalah ada publikasi karya ilmiahnya di jurnal ilmiah. Adapun S-2 publikasinya pada jurnal ilmiah nasional, sedangkan S-3 pada jurnal ilmiah internasional, baik yang tercetak maupun online.


Suyatno, Sekretaris Jenderal Aptisi, mengatakan, perkembangan mutu PTS saat ini masih belum merata. Apalagi dukungan pemerintah bagi PTS yang membutuhkan bantuan dana ataupun bentuk lainnya masih minim.
”Kebijakan pemerintah dalam anggaran pendidikan harus memperhatikan prinsip keadilan bagi PTN (perguruan tinggi negeri) dan PTS. Sebab, sampai saat ini masih sangat dirasakan kebijakan penganggaran pemerintah bias ke PTN,” kata Suyatno.


Harus dijalankan


Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh menegaskan, kebijakan Dirjen Dikti yang mewajibkan mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 untuk memublikasikan karya ilmiah harus dijalankan. ”Perguruan tinggi enggak usah minder, pasti bisa. Apalagi untuk S-3, bisa menulis ke jurnal ilmiah internasional. Kecuali kampus yang melaksanakan program doktor tidak berorientasi keilmuan, tetapi bisnis semata, sulit untuk bisa menghasilkan karya ilmiah yang berkontribusi untuk pengembangan keilmuan,” ujarnya.


Nuh meyakini masyarakat Indonesia masih dalam fase perlu ”pemaksaan”. Kewajiban publikasi ilmiah di jurnal ilmiah sekaligus syarat kelulusan mahasiswa merupakan upaya ”pemaksaan” untuk meningkatkan kualitas pendidikan.


”Kalau mengharapkan kesadaran, ya, kita susah maju. Nanti terjebak dengan kebijakan fleksibel, ada syukur, enggak ada tidak apa-apa. Karena itu, kebijakan perlu dipaksakan untuk tujuan yang baik bagi munculnya budaya berpikir ilmiah sehingga kualitas pendidikan tinggi Indonesia meningkat,” ujar Nuh.



Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2012/02/13/08343942/PTS.Tolak.Publikasi.untuk.Kelulusan

Selasa, 07 Februari 2012

LAMUNANKU PADA SANG BELIA


Aku terlentang
Sesukaku dalam pelukan cakrawalamu
Tenda-tenda yang aku singgahi begitu megah nan mempesona
Ia beralaskan tanah yang muliah
Beratapkan langit biru yang menggairahkan jiwa

Aku bejumpa seorang belia
Matanya berkaca-kaca pada genangan air hujan
Dalam sujudku, aku berupaya berkata apa yang terasa taknyata
Aku pun tertawa
Kala syetan mengira dapat mengendarai rembulan
Yang nyatanya tak akan pernah padam
Ia mencoba mengusik khusukku
Apakah engkau tak melihat ratusan hati putih
Menggetarkan bibir mereka pada sang panutan?
Dalam dzikir yang tak akan mereka padamkan
Meski kehidupan menghanyutkan perasaan


Aku kini termenung 
Kala aku coba lirikkan mataku pada belia itu 
Ia memandangi angkasa 
Seakan memikirkan tuhannya yang baginya fana 
Aku tertunduk 
Aku terlumat 
Aku terjaga 
Namun hatiku seakan-akan bertanya pada jiwaku 
Mencemooh ragaku, mencaci anganku 


Aku pun tertatih 
Mencoba mengarahkan fikirku 
Pada milyaran malaikat yang selalu melekat 
Dalam kehidupanku yang rapat 
Aku lihat diriku dalam lamunan si belia 
Entah apa yang dipikirkannya 


Aku terlentang 
Diantara jutaan tumpukan dosa 
Yang mencoba menindih pedihku 
Namun aku yakin dengan sesuatu yang bagi meraka tak pernah nyata, 
Aku yakin, gunung-gunung, bebatuan, pepohonan, pasir, air, tanah 
Menirukan tasbihku 
Menghitung wiridku 
Dan si belia pun pergi dengan langkah tertatih 
Ia pun menghilang dalam kelemahan jarak pandang yang aku pegang 


Jogja, 24 januari 2012

Sabtu, 04 Februari 2012

WANITA CANTIK SEKALI DIRUMAH KEAGUNGANMU


Ditengah-tengah gemuruhnya alunan do’a
Diserambi-serambi rumah-Mu yang agung
Aku mencoba menyelusuri jiwaku yang rapuh
Ratapku pada ke maha agungan-Mu
Yang terasah begitu tangguh
Membuatku terantuk pada dinding mustajab-Mu
Menumpah luapkan isi dalam dada yang selalu mengangah

Aku baca segala yang mampu aku baca
Dalam berbagai bahasa
Aku tertunduk dari tahlil ketasbih dari tasbih ketahlil
Dari istigfar kesyukur dari syukur keistigfar 


Belum sempat aku lenyapkan fana dalam dada 
Tiba-tiba dari ufuk timur 
Wanita berparas manis nan caaantik sekali
Masyallah subhanallaah Apakah itu karuniamu? 
Apakah aku dosa jika aku coba?

Ya Allah, aku nikmati keindahan dalam keindahan 
Aku terlumat oleh bayang kebesaran-Mu 
Aku tertunduk dalam kuasa-Mu 
Keindahan itu seakan melaju dalam dinding kalbuku 
Namun apa amalku jika karunia? 
Namun apa dosaku jika aku coba? 


Ya Allah, inilah kerapuhanku Akankah aku mampu bertanya? 
Kalau Engkau bertanya kenpa? 
Akankah aku mampu menjawab? 
Kalau Engkau menjawab kenapa? 
Ya Allah mukalafkah aku dalam keindahan-Mu? 
Ya Allah akan sampaikapankah kerapuhan tertanam? 
Ampunilah aku, tanyakan jua kerapuhanku. 


 “AFHIE” 
Jogja, 23 januari 2012

Jumat, 03 Februari 2012

INIKAH JALAN HIDUPKU


Tuhan mungkinkah ini takdirku 
Mungkinkah ini nasib hambamu 
Sungguh aku tak kuat lagi 
Menahan beban kehidupan ini 

Aku coba melangkah arah kiri 
Tapi aku selalu tersisih 
Aku coba melangkah arah kanan 
Tapi aku terjatuh dalam jurang yang begitu suram 
Aku coba melangkah arah depan 
Tapi aku malah terjerat oleh kehidupan 
Aku coba melangkah arah belakang 
Tapi ku malah ditikam 
Aku langkahkan kakiku ketengah 
Tapi aku selalu terhina 
Aku coba untuk diam 
Malah aku tertusuk dari belakang 

Aku tak tahu harus kearah mana 
Aku tak tahu harus berbuat apa 
Yang aku rasa hanyalah duka dan derita 
Yang aku tahta selalu fitnah 
Apakah semua ini akan selalu terjadi 
Andai semua ini tak pasti 
Tunjukkan jalan pada hambamu ini. 

AFHIE
260109

Rabu, 01 Februari 2012

SOAL-SOAL UN DILENGKAPI KODE RAHASIA

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh mengatakan, soal-soal pada ujian nasional (UN) tahun ini akan dilengkapi dengan kode-kode rahasia. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kebocoran. Jika terjadi kebocoran soal, maka akan dikaji dengan kode tersebut. Demikian dikatakan M. Nuh dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR, di Gedung DPR, Jakarta, Senin (30/1/2012). 

Ia mengungkapkan, dari kode tersebut akan diketahui dari mana asal percetakan yang mencetak soal itu.

"Sehingga jika terjadi kebocoran, bisa dilihat dari kode soalnya dan dari kodenya bisa dilihat percetakannya apa itu dari percetakan A, atau B, dan sebagainya," kata M. Nuh. 

Untuk pencetakan soal UN, percetakan yang ditunjuk harus memenuhi syarat kualifikasi security printing, sehingga tidak semua percetakan bisa mencetaknya. 

Sebelumnya, Nuh juga mengatakan bahwa persiapan UN tahun ini dilakukan lebih matang dibandingkan tahun sebelumnya. Kemdikbud juga melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah mengenai UN yang jujur dan berprestasi. Ia berharap, pada penyelenggaraan UN tahun ini ditemukan lagi kecurangan. 

"Dengan sosialisasi tersebut, ke depannya tidak ada lagi kebocoran dan ketidakcermatan dalam UN, karena telah kami antisipasi itu dari awal," ujar M. Nuh. 

Seperti diketahui, pelaksanaan UN tahun 2011 lalu diwarnai hal yang menyita perhatian publik, terutama mengenai dugaan kecurangan yang diorganisir pihak sekolah. Salah satunya diungkapkan Siami, seorang orangtua siswa SDN Gadel melaporkan bahwa anaknya diminta oknum guru untuk memberikan jawaban kepada siswa lainnya.


KH HASYIM ASY’ARI: PAK TANI ITULAH PENOLONG NEGERI

Umat Islam di negeri ini sudah mafhum, bahwa Hadrotusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari adalah pendiri NU. Para ulama atau kyai di Nusantara, pastilah mengerti bahwa Hadrotusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari, gurunya para ulama, penulis belasan kitab penting dalam Islam. Tapi, berapa banyak orang yang mengetahui, bahwa ia juga punya perhatian pada dunia pertanian. 

Ya, belum banyak tersiar bahwa Hadrotusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari adalah ulama yang memiliki perhatian kepada kaum tani, pada keseburan tanah, serta menyerukan kepemilikan tanah. 

Ketahuilah, kakek Gus Dur itu telah menulis tentang pertanian dengan judul KEUTAMAAN BERTJOTJOK TANAM DAN BERTANI, dengan judul kecil Andjoeran Memperbanyak Hasil Boemi dan Menjoeboerkan Tanah, Andjuran Mengoesahakan Tanah dan Menegakkan Ke’adilan.Tulisan satu halaman itu dimuat majalah Soera Moeslimin Indonesia No. 2 Tahun ke-2, 19 Muharom 1363. 

Sudah jamak seorang kiai, ketika menulis yang banyak dikutip adalah Al-Qur’an, hadits, dan kitab-kitab para ulama. Di antara nash yang dikutip adalah hadits Imam Bukhori,” Tak ada seorang muslim yang menanam tanaman atau mencocokkan tumbuh-tumbuhan, kemudian tanaman itu dimakan burung atau manusia atau burung, melainkan dihitung menjadi sedekah (bagi yang menananmnya).” 

Sebetulnya tidaklah mengherankan jika Hadrotusy Syaikh amat perhatian pada dunia pertanian, di samping ia sendiri seorang petani, juga organisasi yang dipimpinnya, Nahdlatul Ulama, pada waktu itu, sangat peduli pada nasib petani. Lihat saja dalam bahtsul masail (majlis para ulama untuk membahas persoalan-persoalan keumatan) yang diselenggarakan NU dari tahun 1926-1945, banyak pertanyaan-pertanyaan yang berkait dengan pertanian, tanah, tambak, zakat petani, hingga sedekah bumi (ritual kaum tani untuk mensyukuri nikmat Tuhan). 

Bahkan, berdirinya NU, salah satu tujuannya, adalah untuk melindungi kaum tani,”Mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan, dan persahabatan, yang tiada dilarang syara’ agama Islam.”

Tokoh-tokoh NU, jika berpidato di muka umum atau di rapat-rapat NU, memilih diksi-diksi yang dekat dengan kaum tani: tanah, air, tanah air, atau bumi. Sekedar contoh, Rais Aam PBNU Kiai Wahab Hasbullah, dalam doa iftitah Muktamar NU ke-25 di Surabaya, menegaskan: 

”Mewarisi ‘bumi’ ini artinya membangunnya agar menjadi suatu dunia yang sejahtera, aman dan makmur, yang di dalam berisi keadilan dan kebenaran yang dijunjung tinggi.” 

Mbah Hasyim, dalam tulisannya, menerangkan bahwa petani adalah benteng terakhir bagi pertahanan negeri. Mengutip tulisan Muntaha dari kitab Amalil khuthaba, Mbah Hasyim menulis: 

”Pendek kata, bapak tani adalah goedang kekajaan, dan dari padanja itoelah Negeri mengeloearkan belandja bagi sekalian keperloean. Pa’ Tani itoelah penolong Negeri apabila keperloean menghendakinja dan diwaktoe orang pentjari-tjari pertolongan. Pa’ Tani itoe ialah pembantoe Negeri jang boleh dipertjaja oentoek mengerdjakan sekalian keperloean Negeri, jaitoe diwaktunja orang berbalik poenggoeng (ta’ soedi menolong) pada negeri; dan Pa’ Tani itoe djoega mendjadi sendi tempat negeri didasarkan

” Di akhir tulisan, seraya mengutip kitab akhlak yang masyhur di pesantren Adabud Dunya, Mbah Hasyim menyeru, bahwa dunia akan tertib jika enam hal terpenuhi, pertama, agama yang ditaati. Kedua, pemerintah yang berpengaruh. Ketiga keadilan yang merata. Keempat, ketentraman yang meluas. 
Kelima, kesuburan tanah yang kekal. Dan keenam, cita-cita yang luhur.


Sumber: http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/7/36124/Fragmen/KH_Hasyim_Asy_rsquo_ari__Pak_Tani_itulah_Penolong_Negeri.html

KERINDUAN


Kasih….. 
Kau bagaikan angin dipagi hari 
Yang menyambut kebahagiaan seisi bumi 
Sang pemberi semangat 
Pada jiwa yang terjerat 

Kasih…... 
Ku merindukanmu 
Dalam hatiku hanya ada namamu 
Yang selalu merekat didalam hayalku 
Andai kau ada disampingku 
Musnalah keheningan didalam dadaku 

 Kasih….. 
Aku sangat merindu 
Aku ingin bersamamu 
Merasakan hangatnya tubuhmu 
Menjilatih seluruh jiwa ragamu 
Dengan lidah penglihatanku 
Mendengarkan tawamu yang mampu 
Memecahkan suasana yang kelu 
Memandang senyummu yang selalu 
Menyapu jiwaku yang keruh 

AFHIE 
30/11/2008

NUSANTARAKU


Indonesia adalah surga dunia 
Tapi mengapa tak bisa dijaga 
Dan tak bisa dicerna 
Pengangguran banyak tercipta di mana-mana 
Surga dunia kini telah sirna 
Entah menghilang kemana 
Mungkin di belakang kita 

Kekayaan yang kita punya berlimpah 
Tapi mengapa kita tak bisa merasakanya 
Kesuburan tanahnya pun begitu indah
Juga mempesona 
Tapi sayang kita tak bisa mencernanya 
Untuk kebahagiaan kita semua 

Mungkinkah karunia dari sang kuasa 
Akan terus bertahan selamanya 
Kalau begini kenyataannya 

Budaya yang kita punya berceceran di mana-mana 
Tapi kini tenggelam di makan zaman 
Zaman yang mengerikan 
Tapi selalu dianggap menjanjikan 

AFHIE
220109

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons