ketidak tahuan adalah teman barumu yang terbaik

category

Senin, 07 Mei 2012

Biografi Gus Mus

Nama : Kiai Haji Achmad Mustofa Bisri
Lahir : Rembang, 10 Agustus 1944
Agama : Islam
Jabatan: Pimpinan Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah
Istri: Siti Fatimah
Anak:
1. Ienas Tsuroiya
2. Kautsar Uzmut
3. Randloh Quds
4. Rabitul Bisriyah
5. Nada
6. Almas
7. Muhammad Bisri MustofaAyah   : Mustofa Bisri
Ibu : Marafah Cholil
Pendidikan :
- Pondok Pesantren Lirboyo Kediri
- Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta
- Raudlatuh Tholibin, Rembang
- Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir
Karya Tulis Buku:
- Dasar-dasar Islam (terjemahan, Abdillah Putra Kendal, 1401 H);
- Ensklopedi Ijma’ (terjemahan bersama KH. M.A. Sahal Mahfudh, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987);
- Nyamuk-Nyamuk Perkasa dan Awas, Manusia (gubahan cerita anak-anak, Gaya Favorit Press Jakarta, 1979);
- Kimiya-us Sa’aadah (terjemahan bahasa Jawa, Assegaf Surabaya);
- Syair Asmaul Husna (bahasa Jawa, Penerbit Al-Huda Temanggung);
- Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991,1994);
- Tadarus, Antalogi Puisi (Prima Pustaka Yogya, 1993);
- Mutiara-Mutiara Benjol (Lembaga Studi Filsafat Islam Yogya, 1994);
- Rubaiyat Angin dan Rumput (Majalah Humor dan PT. Matra Media, Cetakan II, Jakarta, 1995);
- Pahlawan dan Tikus (kumpulan puisi, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996);
- Mahakiai Hasyim Asy’ari (terjemahan, Kurnia Kalam Semesta Yogya, 1996);
- Metode Tasawuf Al-Ghazali (tejemahan dan komentar, Pelita Dunia Surabaya, 1996);
- Saleh Ritual Saleh Sosial (Mizan, Bandung, Cetakan II, September 1995);
- Pesan Islam Sehari-hari (Risalah Gusti, Surabaya, 1997);
- Al-Muna (Syair Asmaul Husna, Bahasa Jawa, Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang, 1997);
- Fikih Keseharian (Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang, bersama Penerbit Al-Miftah, Surabaya, Juli 1997)
Organisasi:
Mantan Rois Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) periode 1994-1999 dan 1999-2004
Sang Kiyai Pembelajar
Kiyai, penyair, novelis, pelukis, budayawan dan cendekiawan muslim, ini telah memberi warna baru pada peta perjalanan kehidupan sosial dan politik para ulama. Ia kiyai yang bersahaja, bukan kiyai yang ambisius. Ia kiyai pembelajar bagi para ulama dan umat. Pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah, ini enggan (menolak) dicalonkan menjadi Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama dalam Muktamar NU ke-31 28/11-2/12-2004 di Boyolali, Jawa Tengah.
KH Achmad Mustofa Bisri, akrab dipanggil Gus Mus, ini mempunyai prinsip harus bisa mengukur diri. Setiap hendak memasuki lembaga apapun, ia selalu terlebih dahulu mengukur diri. Itulah yang dilakoninya ketika Gus Dur mencalonkannya dalam pemilihan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama pada Muktamar NU ke-31 itu.
Saya harus bisa mengukur diri sendiri. Mungkin lebih baik saya tetap berada di luar, memberikan masukan dan kritikan dengan cara saya, jelas alumnus Al Azhar University, Kairo (Mesir), ini, yang ketika kuliah mempunyai hobi main sepakbola dan bulutangkis. Setelah tak lagi punya waktu meneruskan hobi lamanya, ulama ini lalu menekuni hobi membaca buku sastra dan budaya, menulis dan memasak, termasuk masak makanan Arab dengan bumbu tambahan.
Lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944, dari keluarga santri. Kakeknya, Kyai Mustofa Bisri adalah seorang ulama. Demikian pula ayahnya, KH Bisri Mustofa, yang tahun 1941 mendirikan Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, adalah seorang ulama karismatik termasyur.
Ia dididik orangtuanya dengan keras apalagi jika menyangkut prinsip-prinsip agama. Namun, pendidikan dasar dan menengahnya terbilang kacau. Setamat sekolah dasar tahun 1956, ia melanjut ke sekolah tsanawiyah. Baru setahun di tsanawiyah, ia keluar, lalu masuk Pesantren Lirboyo, Kediri selama dua tahun. Kemudian pindah lagi ke Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Di Yogyakarta, ia diasuh oleh KH Ali Maksum selama hampur tiga tahun. Ia lalu kembali ke Rembang untuk mengaji langsung diasuh ayahnya.
KH Ali Maksum dan ayahnya KH Bisri Mustofa adalah guru yang paling banyak mempengaruhi perjalanan hidupnya. Kedua kiyai itu memberikan kebebasan kepada para santri untuk mengembangkan bakat seni.
Kemudian tahun 1964, dia dikirim ke Kairo, Mesir, belajar di Universitas Al-Azhar, mengambil jurusan studi keislaman dan bahasa Arab, hingga tamat tahun 1970. Ia satu angkatan dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Menikah dengan Siti Fatimah, ia dikaruniai tujuh orang anak, enam di antaranya perempuan. Anak lelaki satu-satunya adalah si bungsu Mochamad Bisri Mustofa, yang lebih memilih tinggal di Madura dan menjadi santri di sana. Kakek dari empat cucu ini sehari-hari tinggal di lingkungan pondok hanya bersama istri dan anak keenamnya Almas.
Setelah abangnya KH Cholil Bisri meninggal dunia, ia sendiri memimpin dan mengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, didampingi putra Cholil Bisri. Pondok yang terletak di Desa Leteh, Kecamatan Rembang Kota, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, 115 kilometer arah timur Kota Semarang, itu sudah berdiri sejak tahun 1941.
Keluarga Mustofa Bisri menempati sebuah rumah kuno wakaf yang tampak sederhana tapi asri, terletak di kawasan pondok. Ia biasa menerima tamu di ruang seluas 5 x 12 meter berkarpet hijau dan berisi satu set kursi tamu rotan yang usang dan sofa cokelat. Ruangan tamu ini sering pula menjadi tempat mengajar santrinya.
Pintu ruang depan rumah terbuka selama 24 jam bagi siapa saja. Para tamu yang datang ke rumah lewat tengah malam bisa langsung tidur-tiduran di karpet, tanpa harus membangunkan penghuninya. Dan bila subuh tiba, keluarga Gus Mus akan menyapa mereka dengan ramah. Sebagai rumah wakaf, Gus Mus yang rambutnya sudah memutih berprinsip, siapapun boleh tinggal di situ.
Di luar kegiatan rutin sebagai ulama, dia juga seorang budayawan, pelukis dan penulis. Dia telah menulis belasan buku fiksi dan nonfiksi. Justru melalui karya budayanyalah, Gus Mus sering kali menunjukkan sikap kritisnya terhadap budaya yang berkembang dalam masyarakat. Tahun 2003, misalnya, ketika goyang ngebor pedangdut Inul Daratista menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat, Gus Mus justru memamerkan lukisannya yang berjudulBerdzikir Bersama Inul. Begitulah cara Gus Mus mendorong perbaikan budaya yang berkembang saat itu.
Bakat lukis Gus Mus terasah sejak masa remaja, saat mondok di Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Ia sering keluyuran ke rumah-rumah pelukis. Salah satunya bertandang ke rumah sang maestro seni lukis Indonesia, Affandi. Ia seringkali menyaksikan langsung bagaimana Affandi melukis. Sehingga setiap kali ada waktu luang, dalam bantinnya sering muncul dorongan menggambar. Saya ambil spidol, pena, atau cat air untuk corat-coret. Tapi kumat-kumatan, kadang-kadang, dan tidak pernah serius, kata Gus Mus, perokok berat yang sehari-hari menghabiskan dua setengah bungkus rokok.
Gus Mus, pada akhir tahun 1998, pernah memamerkan sebanyak 99 lukisan amplop, ditambah 10 lukisan bebas dan 15 kaligrafi, digelar di Gedung Pameran Seni Rupa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Kurator seni rupa, Jim Supangkat, menyebutkan, kekuatan ekspresi Mustofa Bisri terdapat pada garis grafis. Kesannya ritmik menuju zikir membuat lukisannya beda dengan kaligrafi. Sebagian besar kaligrafi yang ada terkesan tulisan yang diindah-indahkan, kata Jim Supangkat, memberi apresiasi kepada Gus Mus yang pernah beberapa kali melakukan pameran lukisan.
Sedangkan dengan puisi, Gus Mus mulai mengakrabinya saat belajar di Kairo, Mesir. Ketika itu Perhimpunan Pelajar Indonesia di Mesir membikin majalah. Salah satu pengasuh majalah adalah Gus Dur. Setiap kali ada halaman kosong, Mustofa Bisri diminta mengisi dengan puisi-puisi karyanya. Karena Gus Dur juga tahu Mustofa bisa melukis, maka, ia diminta bikin lukisan juga sehingga jadilah coret-coretan, atau kartun, atau apa saja, yang penting ada gambar pengisi halaman kosong. Sejak itu, Mustofa hanya menyimpan puisi karyanya di rak buku.
Namun adalah Gus Dur pula yang mengembalikan Gus Mus ke habitat perpuisian. Pada tahun 1987, ketika menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Gus Dur membuat acara Malam Palestina. Salah satu mata acara adalah pembacaan puisi karya para penyair Timur Tengah. Selain pembacaan puisi terjemahan, juga dilakukan pembacaan puisi aslinya. Mustofa, yang fasih berbahasa Arab dan Inggris, mendapat tugas membaca karya penyair Timur Tengah dalam bahasa aslinya. Sejak itulah Gus Mus mulai bergaul dengan para penyair.
Sejak Gus Mus tampil di Taman Ismail Marzuki, itu kepenyairannya mulai diperhitungkan di kancah perpuisian nasional. Undangan membaca puisi mengalir dari berbagai kota. Bahkan ia juga diundang ke Malaysia, Irak, Mesir, dan beberapa negara Arab lainnya untuk berdiskusi masalah kesenian dan membaca puisi. Berbagai negeri telah didatangi kyai yang ketika muda pernah punya keinginan aneh, yakni salaman dengan Menteri Agama dan menyampaikan salam dari orang-orang di kampungnya. Untuk maksud tersebut ia berkali-kali datang ke kantor sang menteri. Datang pertama kali, ditolak, kedua kali juga ditolak. Setelah satu bulan, ia diizinkan ketemu menteri walau hanya tiga menit.
Kyai bertubuh kurus berkacamata minus ini telah melahirkan ratusan sajak yang dihimpun dalam lima buku kumpulan puisi: Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (1988), Tadarus Antologi Puisi (1990), Pahlawan dan Tikus (1993), Rubaiyat Angin dan Rumput (1994), dan Wekwekwek (1995). Selain itu ia juga menulis prosa yang dihimpun dalam buku Nyamuk Yang Perkasa dan Awas Manusia (1990).
Tentang kepenyairan Gus Mus, Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri menilai, gaya pengucapan puisi Mustofa tidak berbunga-bunga, sajak-sajaknya tidak berupaya bercantik-cantik dalam gaya pengucapan. Tapi lewat kewajaran dan kesederhanaan berucap atau berbahasa, yang tumbuh dari ketidakinginan untuk mengada-ada. Bahasanya langsung, gamblang, tapi tidak menjadikan puisinya tawar atau klise. Sebagai penyair, ia bukan penjaga taman kata-kata. Ia penjaga dan pendamba kearifan, kata Sutardji.
Kerap memberi ceramah dan tampil di mimbar seminar adalah lumrah bagi Gus Mus. Yang menarik, pernah dalam sebuah ceramah, hadirin meminta sang kiai membacakan puisi. Suasana hening. Gus Mus lalu beraksi: Tuhan, kami sangat sibuk. Sudah.
Sebagai cendekiawan muslim, Gus Mus mengamalkan ilmu yang didapat dengan cara menulis beberapa buku keagamaan. Ia termasuk produktif menulis buku yang berbeda dengan buku para kyai di pesantren. Tahun 1979, ia bersama KH M. Sahal Mahfudz menerjemahkan buku ensiklopedia ijmak. Ia juga menyusun buku tasawuf berjudul Proses Kebahagiaan (1981). Selain itu, ia menyusun tiga buku tentang fikih yakni Pokok-Pokok Agama (1985), Saleh Ritual, Saleh Sosial (1990), dan Pesan Islam Sehari-hari (1992).
Ia lalu menerbitkan buku tentang humor dan esai, Doaku untuk Indonesia? dan Ha Ha Hi Hi Anak Indonesia. Buku yang berisi kumpulan humor sejak zaman Rasullah dan cerita-cerita lucu Indonesia. Menulis kolom di media massa sudah dimulainya sejak muda. Awalnya, hatinya panas jika tulisan kakaknya, Cholil Bisri, dimuat media koran lokal dan guntingan korannya ditempel di tembok. Ia pun tergerak untuk menulis. Jika dimuat, guntingan korannya ditempel menutupi guntingan tulisan sang kakak. Gus Mus juga rajin membuat catatan harian.
Seperti kebanyakan kyai lainnya, Mustofa banyak menghabiskan waktu untuk aktif berorganisasi, seperti di NU. Tahun 1970, sepulang belajar dari Mesir, ia menjadi salah satu pengurus NU Cabang Kabupaten Rembang. Kemudian, tahun 1977, ia menduduki jabatan Mustasyar, semacam Dewan Penasihat NU Wilayah Jawa Tengah. Pada Muktamar NU di Cipasung, Jawa Barat, tahun 1994, ia dipercaya menjadi Rais Syuriah PB NU.
Enggan Ketua PB NU
Kesederhanaannya telah memberi warna baru pada peta perjalanan kehidupan sosial dan politik para ulama. Ia didorong-dorong oleh Gus Dur dan kawan-kawan dari kelompok NU kultural, untuk mau mencalonkan diri sebagai calon ketua umum PB NU pada Muktamar NU ke-31 tahun 2004, di Boyolali, Jawa Tengah. Tujuannya, untuk menandingi dan menghentikan langkah maju KH Hasyim Muzadi dari kelompok NU struktural. Kawan karib Gus Dur selama belajar di Kairo, Mesir, ini dianggap salah satu ulama yang berpotensi menghentikan laju ketua umum lama. Namun Gus Mus justru bersikukuh menolak.
Alhasil, Hasyim Muzadi mantan calon wakil presiden berpasangan dengan calon presiden Megawati Soekarnoputri dari PDI Perjuangan, pada Pemilu Preisden 2004, itu terpilih kembali sebagai Ketua Dewan Tanfidziah berpasangan dengan KH Achmad Sahal Makhfud sebagai Rois Aam Dewan Syuriah PB NU. Muktamar berhasil meninggalkan catatan tersendiri bagi KH Achmad Mustofa Bisri, yakni ia berhasil menolak keinginan kuat Gus Dur, ulama kontroversial.
Ternyata langkah seperti itu bukan kali pertama dilakukannya. Jika tidak merasa cocok berada di suatu lembaga, dia dengan elegan menarik diri. Sebagai misal, kendati pernah tercatat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah tahun 1987-1992, mewakili PPP, demikian pula pernah sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), mantan Rois Syuriah PB NU periode 1994-1999 dan 1999-2004 ini tidak pernah mau dicalonkan untuk menjabat kembali di kedua lembaga tersebut. Lalu, ketika NU ramai-ramai mendirikan partai PKB, ia tetap tak mau turun gelanggang politik apalagi terlibat aktif di dalamnya.
Demikian pula dalam Pemilu Legislatif 2004, meski namanya sudah ditetapkan sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Jawa Tengah, ia lalu memilih mengundurkan diri sebelum pemilihan itu sendiri digelar. Ia merasa dirinya bukan orang yang tepat untuk memasuki bidang pemerintahan. Ia merasa, dengan menjadi wakil rakyat, ternyata apa yang diberikannya tidak sebanding dengan yang diberikan oleh rakyat. Selama saya menjadi anggota DPRD, sering terjadi pertikaian di dalam batin saya, karena sebagai wakil rakyat, yang menerima lebih banyak dibandingkan dengan apa yang bisa saya berikan kepada rakyat Jawa Tengah, kata Mustofa mengenang pengalaman dan pertentangan batin yang dia alami selama menjadi politisi.
Dicalonkan menjadi ketua umum PB NU sudah seringkali dialami Gus Mus. Dalam beberapa kali mukhtamar, namanya selalu saja dicuatkan ke permukaan. Ia adalah langganan “calon ketua umum” dan bersamaan itu ia selalu pula menolak. Di Boyolali 2004 namanya digandang-gandang sebagai calon ketua umum. Bahkan dikabarkan para kyai sepuh telah meminta kesediaannya. Sampai-sampai utusan kyai sepuh menemui ibunya, Marafah Cholil, agar mengizinkan anaknya dicalonkan. Sang ibu malah hanya menjawab lugas khas warga ulama NU, Mustofa itu tak jadi Ketua Umum PB NU saja sudah tak pernah di rumah, apalagi kalau menjadi ketua umum. Nanti saya tak pernah ketemu.
Gus Mus sendiri yang tampak enggan dicalonkan, dengan tangkas menyebutkan, Saya mempunyai hak prerogatif untuk menolak, ucap pria bertutur kata lembut yang sesungguhnya berkawan karib dengan Gus Dur selama belajar di Kairo, Mesir. Saking karibnya, Gus Mus pernah meminta makan kepada Gus Dur selama berbulan-bulan sebab beasiswanya belum turun-turun. Persahabatan terus berlanjut sampai sekarang. Kalau Gus Dur melawat ke Jawa Timur dan singgah di Rembang, biasanya mampir ke rumah Gus Mus. Sebaliknya, bila dia berkunjung ke Jakarta, sebisa-bisanya bertandang ke rumah Gus Dur. Selain saling kunjung, mereka tak jarang pula berkomunikasi melalui telepon.

Pendidikan Berkualitas Masih Sekadar Harapan


Indonesia memiliki peluang untuk maju pada dua atau tiga dekade mendatang dengan adanya bonus demografi, yakni banyaknya penduduk usia produktif. Namun, potensi besar yang membutuhkan generasi muda terdidik itu menghadapi persoalan serius antara lain kualitas pendidikan yang masih tergolong rendah.

Persoalan ini mengemuka dalam seminar bertajuk ”Pendidikan Indonesia: Harapan dan Kenyataan” yang dilaksanakan SMA Kolese Gonzaga di Jakarta, Sabtu (5/5). Tampil sebagai pembicara, Direktur Pembinaan SMA Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Totok Supriyanto, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef, Guru Besar Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Anita Lie, dan Guru Besar Universitas Sanata Dharma Paul Suparno.

Anita Lie mengatakan belum ada kesejajaran tujuan politis dengan tujuan pembangunan. ”Anggaran pendidikan besar, tetapi indikator pencapaian pendidikan di Indonesia masih tergolong rendah,” ujar Anita Lie.

Mengutip data Bank Dunia, Anita Lie menyebutkan, rata-rata lama bersekolah di Indonesia masih 8,0 tahun untuk laki-laki dan 7,5 tahun untuk perempuan. ”Secara gamblang, data ini menunjukkan kegagalan program wajib belajar sembilan tahun yang telah ditetapkan pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah. Namun, dalam waktu dekat segera akan muncul isu populer wajib belajar 12 tahun. Ini bisa menguntungkan kepentingan politik pemerintah sekarang saja,” kata Anita Lie.

Totok Supriyanto, Direktur Pembinaan SMA Kemdikbud, mengatakan, persoalan pendidikan di negeri ini memang terus muncul meski berbagai upaya juga dilakukan pemerintah.

Paul Suparno menyoroti pendidikan nasional yang belum melaksanakan pendekatan holistik menjadikan manusia Indonesia yang utuh. ”Pendidikan karakter memang dicanangkan dan dijalankan, tetapi belum menjadi bagian dari seluruh pendidikan nasional kita,” ujar Paul.

Daoed Joesoef mengatakan, pendidikan nasional Indonesia mesti bisa berperan untuk membentuk warga bangsa. ”Sistem pendidikan nasional kita perlu menyadari anak didiknya adalah warga Indonesia, bukan anak suku yang lahir di salah satu daerah di Indonesia,”

Minggu, 06 Mei 2012

Pendidikan Indonesia Dinilai Kehilangan Arah


Dunia pendidikan Indonesia dinilai telah kehilangan arah. Saat ini pendidikan hanya dimaknai sebagai teknik manajerial persekolahan yang hanya menitikberatkan pada kemampuan kognitif dan meminggirkan pendidikan karakter bangsa. Pendidikan semacam itu dinilai hanya akan menghasilkan manusia yang individual, serakah, dan tidak memiliki rasa percaya diri.

Karena itulah, sejumlah pakar menilai pendidikan Indonesia perlu dikembalikan pada filosofi pendidikan yang digagas Ki Hadjar Dewantara, yaitu pendidikan yang bersifat nasionalistik, naturalistik, dan spiritualistik. Berangkat dari kondisi tersebut, sedikitnya 26 perguruan tinggi baik negeri maupun swasta di Yogyakarta akan menggelar Kongres Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan 2012.

Menurut ketua panitia kongres, Dr Kunjana Rahardi, melalui kongres ini diharapkan bisa dirumuskan kembali prinsip-prinsip pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan yang memadai bagi pengembangan peradaban Indonesia di tengah globalisasi.

"Pendidikan itu seharusnya memanusiakan manusia. Kalau sistem pendidikan kita bisa konsisten menerapkan pendidikan yang nasionalistik, naturalistik, dan spiritualistik, yang holistik dan tidak sepotong-sepotong pasti akan menghasilkan manusia Indonesia yang berkarakter," kata Kunjana, Jumat (4/5/2012) di Balai Senat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Di tempat yang sama, Prof Sutaryo selaku ketua panitia pengarah mengatakan bahwa kongres ini bermula dari keprihatinan para pendidik di Yogyakarta, yang melihat bahwa dunia pendidikan di Indonesia telah kehilangan arah.

"Konsep pendidikan yang digagas Ki Hadjar Dewantara saat ini telah mengalami kebekuan. Yang berkembang justru pendidikan dengan konsep dari Barat yang menjadikan manusia individualis dan serakah, yang tentunya tidak sesuai dengan bangasa kita," kata Prof Sutaryo.

Kongres itu sendiri akan dilaksanakan tanggal 7-8 Mei, bertempat di Balai Senat UGM. Dari kongres itu diharapkan akan muncul sebuah rekomendasi yang bersifat filosofis, ideologis, kebijakan, dan aplikasi pendidikan yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia dan Pancasila. Selain menghadirkan Gubernur DIY Sultan HB X sebagai keynote speaker, kongres tersebut juga akan menghadirkan Prof Wiendu Nuryanti (Wamendikbud Bidang Kebudayaan), Prof Musliar Kasim (Wamendikbud Bidang Pendidikan), Prof Djoko Santoso (Dirjen Dikti), dan Dedy Gumilar (anggota Komisi X DPR), serta sejumlah tokoh lainnya. 


Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2012/05/05/10380610/Pendidikan.Indonesia.Dinilai.Kehilangan.Arah

Rabu, 02 Mei 2012

Ketika Bersekolah Hanya Sekadar Mimpi..............


Hampir 53 tahun sudah masyarakat Indonesia merayakan Hari Pendidikan Nasional dengan harapan semua anak Indonesia dapat bersekolah dan menyelesaikan jenjang pendidikannya. Bahkan sejak tahun 2005, Jakarta sudah menuntaskan program wajib belajar sembilan tahun dan segera bergerak menuju wajib belajar 12 tahun pada tahun 2013.

Namun kenyataannya, masih tercecer potret usang dunia pendidikan bagi kaum papa. Fachry, bocah yang seharusnya sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama ini, terpaksa menanggalkan mimpinya untuk terus mengenyam pendidikan lantaran tidak ada biaya. Kala itu, penghasilan ibunya sebagai tukang cuci tidak cukup untuk membiayai sekolah sehingga Fachry terpaksa putus sekolah saat masih duduk di bangku kelas empat.

"Bapak udah nggak kerja. Ibu dulu juga jadi tukang cuci. Jadi buat bantu ibu, aku kerja aja. Duitnya bisa untuk makan rame-rame," kata Fachry yang akrab disapa Tompel oleh teman-temannya ini, ketika dijumpai di ITC Mangga Dua, Jakarta, Selasa (1/5/2012).

Ya, Fachry kecil harus ikut mencari nafkah agar dapur di rumahnya tetap mengepul. Untuk itu, tiap hari ia berjalan dari rumahnya menuju ITC Mangga Dua sebagai pengangkat barang belanjaan pusat perbelanjaan tersebut.

Biasanya, bocah kecil ini berangkat siang hari hingga pusat perbelanjaan tersebut tutup. Upah yang didapatnya per hari juga tidak menentu yaitu antara Rp 30.000 - Rp 200.000.

"Nggak tentu, kak. Kalau rezekinya banyak, ya banyak. Biasanya hari Minggu rame yang dateng, dapetnya juga lumayan. Karena kalau pulang nggak bawa sesuatu buat ibu, rasanya nggak enak, kak," ungkap Fachry yang sejak 2009 sudah menjadi pengangkat barang di ITC Mangga Dua.

Tanpa ragu, ia pun mengajak Kompas.com untuk menyusuri rel di sebelah pusat perbelanjaan Mangga Dua tersebut untuk mampir ke rumahnya sambil terus bercerita. Ia menuturkan bahwa dirinya dan temannya kerap dikejar petugas keamanan saat hendak menawarkan jasa angkat barang, hingga akhirnya ada seorang pemilik toko di ITC Mangga Dua yang memberikan sekumpulan bocah ini seragam dan jaminan berkelakuan baik.

Dengan seragam tersebut, Fachry dan teman-temannya dikenal sebagai "Anak-anak Macgyver" karena kebetulan toko yang memberikan mereka seragam tersebut bernama toko "Macgyver". Namun jika saat ini berkeliling di ITC Mangga Dua, anak-anak berseragam ini sudah tidak tampak lagi karena ada larangan dari pusat perbelanjaan tersebut.

"Gara-gara ada yang gangguin pembeli, ada juga yang mainan eskalator. Terus ada yang ngambil barang, akhirnya dipanggil dan nggak boleh lagi. Gara-gara satu, semuanya jadi kena. Ya sekarang akhirnya nggak pake seragam," kenang anak ketujuh dari delapan bersaudara ini.

Sekitar lima menit berjalan di sepanjang rel kereta api, akhirnya sampai juga di rumah yang menjadi tempat tinggal Fachry beserta keluarganya. Rumah petak kecil di pinggir rel yang ditinggali Fachry dan keluarganya ini merupakan rumah sewa dengan bayaran Rp 150.000 per bulannya.

Ibu Fachry, Marhaeni, yang sedang menggendong cucunya menyambut kedatangan Kompas.com dan menuturkan bahwa saat ini Fachry merupakan tulang punggung keluarga, mengingat dirinya dan suaminya sudah tidak bekerja. Marhaeni kini meninggalkan pekerjaannya sebagai tukang cuci karena harus mengasuh cucunya yang masih bayi lantaran anak dan menantunya bekerja.

"Anak saya ada delapan. Tapi kakak-kakaknya Fachry ya sudah urus keluarganya sendiri juga. Jadi sekarang Fachry yang jadi harapan. Sekarang kan nggak pake seragam kayak dulu lagi, penghasilannya juga ikut kurang. Tapi ya sudah, namanya juga rezeki kan," ujar Marhaeni sambil menidurkan cucunya.

Ia pun bercerita bahwa adik Fachry yang merupakan anak bungsunya kini masih duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Kendati demikian, si bungsu juga tidak mau tinggal diam. Tiap hari Minggu, si bungsu akan ikut Fachry ke ITC Mangga Dua untuk membantu mengangkat barang.

Kebutuhan keluarganya tidak hanya sebatas makan dan membayar uang sewa rumah saja. Bahkan untuk mandi, cuci baju dan buang air besar/kecil pun harus membayar, mengingat warga di areal rumah petak tersebut harus berbagi air di kamar mandi umum. Begitu juga untuk biaya listrik, tiap pintu harus menyisihkan uang Rp 20.000 per bulannya.

Tidak hanya itu, rumah petak ini pun tidak akan selamanya menjadi tempat tinggal mereka karena sewaktu-waktu dapat digusur oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang memang meminjamkan lahannya untuk sementara. Dengan kehidupan seperti itu, Fachry lebih memilih untuk mengais rezeki daripada meraih mimpinya dengan tetap bersekolah.

Sosok Fachry ini hanya sebagian kecil gambaran pekerja anak yang tak bisa menikmati dunia pendidikan dan membutuhkan perhatian besar dari pemerintah, karena entah ada berapa Fachry bertebaran di Jakarta saat ini.

Semestinya Hari Pendidikan Nasional yang jatuh bertepatan dengan hari lahir Ki Hadjar Dewantara tidak hanya sekadar diperingati, tetapi diwujudkan dengan mengembalikan mimpi si papa untuk tetap bersekolah dan merenda mimpi untuk masa depan. Karena yang dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantara kala itu adalah mendirikan perguruan Taman Siswa untuk kaum pribumi jelata, agar bisa mendapat hak pendidikan seperti para bangsawan dan orang-orang Belanda.

Di akhir perjumpaan dengan sosok tangguh yang menjadi tulang punggung keluarganya ini, Fachry mengungkapkan harapannya. "Aku masih pengin sekolah, kak," ungkap Fachry. 


Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2012/05/02/05561043/Ketika.Bersekolah.Hanya.Sekadar.Mimpi.

Mahasiswa Sebelum Era Reformasi Dinilai Lebih Cerdas


Para mahasiswa sebelum era Reformasi dinilai lebih cerdas, lebih teliti, dan berkemauan keras untuk belajar. Mutu pendidikan dalam berbagai jenjang sebelum dilaksanakannya ujian nasional juga dianggap lebih baik.

Hal tersebut disampaikan oleh Rektor Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar Prof Sri Darma. "Lulusan SMA yang melanjutkan ke perguruan tinggi setelah masa Reformasi dari segi mutu kemampuan intelektualitasnya mengalami kemerosotan," katanya di Denpasar, Kamis (26/4/2012).

Menurut Sri Darma, penurunan kualitas tersebut memiliki kaitan erat dengan cara pandang siswa bahwa jenjang pendidikan yang ditempuhnya dimaksudkan supaya cepat lulus tanpa memperhatikan mutu dan proses setiap tahapan pendidikan.

"Proses pendidikan mulai dari SD hingga SMA sangat ditentukan oleh aktivitas belajar mengajar sehari-hari, bukan nilai tertinggi dalam pelaksanaan ujian nasional," katanya menambahkan.

Sri Darma juga menilai, dalam beberapa tahun terakhir setelah penyelanggaraan UN, semua pihak, baik siswa, guru, maupun masyarakat, hanya mengejar nilai tertinggi dan persentase kelulusan 100 persen. Padahal, menurut dia, nilai yang tinggi hanya bersifat semu tanpa diimbangi proses pendidikan yang baik dalam kegiatan harian.

"Pemerintah melaksanakan UN sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan pendidikan secara nasional, bukan meraih nilai tertinggi saat UN," katanya.

Kelulusan siswa ditentukan oleh beberapa faktor, meliputi nilai yang diperoleh dalam hasil evaluasi pelajaran sehari-hari, perolehan nilai semester, dan nilai saat UN. Nilai rata-rata penggabungan itulah yang menentukan kelulusan UN, bukan hanya ditentukan oleh pelaksanaan UN.

"Oleh sebab itu, pelaksanaan proses belajar mengajar dalam aktivitas keseharian harus dilaksanakan dengan baik, termasuk guru dapat melaksanakan tugas dan kewajiban sehari-hari," katanya.


Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2012/04/26/10510326/Mahasiswa.Sebelum.Era.Reformasi.Dinilai.Lebih.Cerdas

POSISI PAI DALAM SISTEM PENDIDIKKAN NASIONAL

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
 
Oleh: Muhammad Hanafi



I. PENDAHULUAN
Sistem pendidikan nasional merupakan rangkaian komponen yang saling melengkapi untuk menjadi sebuah kesatuan yang utuh, oleh sebab itu pendidikan nasional tidak bisa dilepaskan dari sistem politik, ekonomi, dan sosial budaya. Pendidikan islam merupakan bagian dari pendidikan nasional.

Pendidikan agama islam dalam sistem pendidikan nasional, yaitu sebagai salah satu aspek dasar dari pendidikan nasional Indonesia, pendidikan agama Islam harus bisa memberikan makna dari pembangunan nasional, jadi pendidikan islam harus bisa menyesuaikan diri dengan tuntutan nasional. Agama islam bagian dari sistem pendidikan nasional dalam membangun bangsa, pendidikan islam berada dalam sistem pendidikan nasional. Posisi pendidikan islam dalam sistem pendidikan nasional di indonesia bisa sebagai mata pelajaran dan bisa juga sebagai lembaga pendidikan.

Pendidikan Islam yang di gunakan sebagai mata pelajaran yaitu Pendidikan Agama Islam yang berstatus mata pelajaran ini di merupakan mata pelajaran pokok di sekolah-sekolah umum mulai SD sampai dengan Perguruan Tinggi yang ada di bawah pembinaan departemen pendidikan nasional. Tujuannya untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman kepada tuhan, berakhlak mulia ,dan bertanggung jawab.

II. PEMBAHASAN
Dari segi etimologi atau bahasa, kata pendidikan berasal dari kata “didik” yang mendapat awalan pe- dan akhiran –an sehingga pengertian pendidikan adalah sistem cara mendidik atau memberikan pengajaran dan peranan yang baik dalam akhlak dan kecerdasan berpikir.

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai – nilai didalam masyarakat dan kebudyaan.

Pendidikan dalam bahasa Arabnya adalah “Tarbiyah”, dengan kata kerja “rabba”. Kata pengajaran dalam bahasa Arabnya adalah “ta’lim” dengan kata kerjanya “allama”. Pendidikan dan pengajaran dalam bahasa Arabnya “Tarbiyah wa Ta’lim”, sedangkan pendidikan Islam dalam bahasa Arabnya adalah “Tarbiyah Islamiyah”.
Kata kerja rabba yang mempunyai arti “mendidik” seperti yang ada dalam ayat Al-Qur’an, sebagai berikut:

            

Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil". (QS. Al-Isra’ [17] : 24).

Ada juga kata kerja rabba yang mempunyai arti “bertambah atau tumbuh” seperti yang ada dalam ayat Al-Qur’an, sebagai berikut:

       ••                

Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (QS. Ar-Ruum [30] : 39).

Sedangkan menurut istilah Pendidikan Islam adalah sebuah proses yang dilakukan untuk menciptakan manusia-manusia yang seutuhnya; beriman dan bertaqwa kepada Tuhan serta mampu mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah di muka bumi, yang berdasarkan kepada ajaran Al-Qur’an dan sunnah, maka tujuan dalam konteks ini berarti terciptanya insan-insan kamil setelah proses pendidikan berakhir.
Dari beberapa definisi di atas, maka dapat diambil pengertian bahwa yang dimaksud Pendidikan Agama Islam adalah suatu aktivitas atau usaha-usaha tindakan dan bimbingan yang dilakukan secara sadar dan sengaja serta terencana yang mengarah pada terbentuknya kepribadian anak didik yang sesuai dengan norma-norma yang ditentukan oleh ajaran agama.

Pendidikan Agama Islam juga merupakan upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani, bertaqwa, dan ber akhlak mulia dalam mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya yaitu kitab suci Al-Quran dan Al-Hadits, melalui kegiatan bimbingan pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman.

A. Sistem Pendidikan Nasional
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta beradaban bangsa yang bermatabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada allah swt,berakhlak mulia,sehat,berilmu (bab 11 pasal 3 ayat 1-6).
Sistem pendidikan nasional seperti dijelaskan dalam UU RI NO.20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS adalah sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai pendidikan nasional.
Dalam penyelenggara pendidikan ada beberapa prinsip-prinsip yang harus di lakukan yaitu :
a) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistematik dengan sistem terbuka dan multi makna.
b) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
c) Pendidikan diselenggarakan dengan member keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
d) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis dan berhitung bagi segenap warga mayarakat.
e) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelengaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

Fungsi pendidikan nasional, sebagai mana ditegaskan pada pasal 3, yaitu: untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional.

B. Posisi Pendidikan Agama Islam dalam sistem pendidikan nasional
Secara yuridis, posisi pendidikan agama (Islam) berada pada posisi yang sangat setrategis, baik pada UUSPN No.2 tahun 1989 maupun dalam UUSPN No. 20 Tahun 2003. Pada UUSPN 1989 dinyatakan, bahwa pedidikan nasional bertujuan “mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia indonesia seutuhnya, yaitu nanusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tukan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Pendidikan agama islam merupakan bagian dari sekolah dasar dan inti kurikulum pendidikan nasional, dan ini dengan pendidikan agama islam pun terpadu dalam sistem pendidikan nasioanal. kenyataan tersebut pada dasarnya cukup menguntungkan bagi pendidikan islam, sebab posisinya semakin kuat, kalau selama ini mungkin pendidikan agama merasah tersisih, dengan uu nomor tahun 2003 ini status pendidikan agama adalah sama kuatnya dengan pendidikan umum.

Kedudukan pendidikan islam dalam sistem pendididkan nasional adakalanya sebagai mata pelajaran dan adakala sebagai lembaga.
a. Sebagai mata pelajaran
Istilah “pendidikan agama islam” di Indonesia dipergunakan untuk nama suatu mata pelajaran dilingkungan sekolah-sekolah yang berada di bawah pembinaan departemen pendidikan nasional, pendidikan agama dalam hal ini agama islam termasuk struktur kurikulum. Ia termasuk kelompok mata pelajaran wajib dalam setiap jalur jenis dan jenjajang pendidikan.
b. Sebagai lembaga
Apabila pendidikan agama islam di lingkungan lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan departemen pendidika nasional terwujud sebagai mata pelajaran, maka dilingkungan departemen agama terwujud sebagai satuan pendidikan yang berjenjang naik mulai dari taman kanak-kanak(Raudhat al-athfat), sampai kepegurun tinggi(Al-jamiat). Pengertian pendidikan keagamaan islam disini mengacu kepada satuan pendidikan keagamaan atau lembaga pendidikan keagamaan islam.

C. Peran Pendidikan Agama Islam
1. Sebagai mata pelajaran
Pendidikan agama islam sebagai mata pelajaran wajib di seluruh sekolah di Indonesia berperan :
a. Mempercepat proses pencapaian tujuan pendidikan nasional
Pendidikan nasional bertujuan untuk berkebangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman ke pada allah SWT, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pendidikan nasional berjujuan diantaranya:

1) Berkembangnya potensi peserta didik
2) Beriman dan bertakwa kepada allah SWT
3) Berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif dan mandiri.
4) Menjadi warga Negara yang demokratis.
5) Bertanggung jawab

Kata Iman dan takwa adalah istilah yang erat hubungannya dengan agama khususnya islam, maka untuk menumbuh kembangkan manusia yang beriman dan bertakwa haruslah melalui pendekatan dan bimbingan agama, khususnya agama islam; baik melalui mata pelajaran pendidikan agama islam sebagai mata pelajaran wajib maupun melalui lembaga pendidikan keagamaan islam. Oleh karena itu mata pelajaran pendidikan agama islam mempunyai peran yang menentukan dalam upaya mencapai tujuan pendidikan nasional.
b. Memberikan nilai tehadap mata pelajaran umum
Seperti kita ketahui bahwa mata pelajaran umum diajarkan di sekolah adalah ilmu pengetahuan produk barat yang bebas dari nilai (values free).

Agar mata pelajaran umum yang di ajarkan di sekolah/madrasah mempunyai nilai maka pendidikan agama islam dapat diintegrasikan dalam setiap mata pelajaran tersebut – apalagi dalam kurikulum sekolah pendidikan agama terletak pada urutan pertama. Nilai yang terdapat dalam ajaran islam inilah yang di internalisasikan dalam proses pembelajaran kepada peserta anak didik.

2. Sebagai lembaga (institusi)
a. Lembaga pendidikan islam (pondok pasantren) berperan mencerdaskan kehidupan bangsa. Jauh sebelum adanya sekolah, pesantren sudah lebih kurang tiga abad mencerdaskan kehidupan bangsa. Tercatat dalam sejarah pendidikan nasional, pesantren sudah ada semenjak masuk islam ke Indonesia mulai dari masa kolonial belanda sampai sekarang. Apalagi pasantren yang bersifat populis banyak sekali diminati oleh masyarakat.
b. Lembaga pendidikan islam (madrasah dan pesantren) bersama dengan satuan pendidikan lainnya dalam sistem pendidikan nasional bersama-sama menuntaskan pelaksanaan wajib belajar 9 tahun.
c. Lembaga pendidikan islam (lembaga diniyah) berperan mendidik anak-anak yang drop-out, anak-anak yang tidak bekesempatan memasuki lembaga pendidikan formal dan sekaligus juga menambah dan memperkuat pelaksanaan pendidikan agama islam di sekolah karena keterbatasan jam pelajaran pendidikan agama islam di sekolah, maka peserta didik memperluas memperdalam mata pelajaran ini di madrasah diniyah.

III. KESIMPULAN
Pendidikan Agama Islam adalah bagian Integrited yang tidak bias dipisahkan dari pembentukan manusia seutuhnya, karenanya pendidikan Agama Islam memiliki kedudukan yang strategis. Karena itu kehadiran pendidikan agama islam saat sekarang ini diposisikan sebagian dari standar kopetensi pendidikan nasional.

Suasana dan kondisi bangsa kita yang sudah terperosok kepada dekadensi moral termasuk generasi mudanya, perlu segera diantisipasi sehingga pemulihan etika berbangsa, bernegara dan bermasyarakat berada lam acuan pancasila yang menghargai perbedaan agama.

Untuk memberdayakan pendidikan agama islam berhasil dan berdaya guna, perlu diperhatikan beberapa hal yang meliputi kurikulum, pendidikan, lingkungan pendidikan, dan sinkronisasi antara pendidikan di sekolah, rumah tangga, dan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Hasbullah, dasar – dasar ilmu pendidikan Islam, PT Grafindo Persada, Jakarta, 1999.
Majid Abdul dan Andayani Dian, Pendidikan Agama Islam Berbasis kopetensi, PT Remaja Rosda Karya, Bandung, 2004.
UU No.20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Nizar Samsul, sejarah pendidikan Islam, Kencana Prenada Media Grup, jakarta, 2007.


PENDIDIKAN ISLAM MENURUT FAZLURRAHMAN

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
Oleh: Muhammad Hanafi




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam dunia pendidikan islam telah terjadi adanya dikotomi, yang artinya ada dualisme sistem pendidikan Islam dan pendidikan umum yang memisahkan kejian-kajian agama dengan ilmu pengetahuan. Sistem pendidikan yang dikotomi ini menyebabkan pendidikan Islam belum mampu melahirkan mujtahid-mujtahid besar. Pendidikan Islam merupakan lembaga pendidikan ilmu-ilmu keislaman, efek pembaharuannya baru dirasakan dalam lapangan reorganisasi, dan tidak dalam kandungan ilmu-ilmu Islam seperti teologi dan filsafat. Pendidikan Tinggi Islam belum mampu membangun paradigma baru yang tetap berangkat dari pemahaman Al-Qur'an, sehingga mampu melahirkan apa yang disebut Fazlur Rahman dengan "intelektualisme Islam".

Bagi Fazlur Rahman, dikotomi tidak merupakan alasan, karena salah satu pendekatannya atau tawarannya adalah dengan menerima pendidikan sekuler modern sebagaimana telah berkembang secara umumnya di dunia Barat dan mencoba untuk mengislamkannya, yakni mengisinya dengan konsep-konsep kunci tertentu dari Islam. Maka, Fazlur Rahman, mengatakan perlu mewarnai bidang-bidang kajian tingkat tinggi dengan nilai-nilai Islam. Masalah pokoknya adalah bagaimana "memodernisasi" pendidikan Islam, yakni membuatnya mampu untuk produktivitas intelektual Islam yang kreatif dalam semua bidang usaha intelektual bersama-sama dengan keterikatan yang serius kepada Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Biografi Fazlur Rahman?
2. Pendidikan Islam dalam perspektif sejarah menurut Fazlur Rahman
3. Pendidikan Islan menurut Fazlur Rahman
4. Kritis dan Kreatif dalam Pendidikan Islam

 

BAB II PEMBAHASAN
A. Biografi Fazlur Rahman
Fazlur Rahman dilahirkan pada 1919 di daerah Barat Laut Pakistan, dan dibesarkan dalam keluarga dengan tradisi Mazhab Hanafi, sebuah Mazhab Sunni yang lebih bercorak rasional dari pada mazhab Sunni lainnya. Sekalipun ia pengikut Sunni, namun pemikirannya pada masa belakangan sangat kritis terhadap Sunni.

Fazlur Rahman, mempelajari ilmu-ilmu Islam secara formal di Madrasah. Selain itu, Ia juga menerima pelajaran dari ayahnya, seorang ulama dari Deoband. Setelah menamatkan pendidikan menengah di madrasah, Fazlur Rahman, melanjutkan studinya di Departemen Ketimuran, Universitas Punjab. Pada 1942, ia berhasil menyelesaikan pendidikan akademisnya di universitas tersebut dengan meraih gelar MA, dalam sastra Arab. Sekalipun ia terdidik dalam lingkungan pendidikan Islam tradisional, sikap kritis mengantarkan jati dirinya sebagai seorang pemikir yang berbeda dengan kebanyakan alumni madrasah. Sikap kritis yang menggambarkan ketidakpuasan terhadap system pendidikan tradisional, terlihat dari keputusannya studi ke Barat, Oxford University, Inggris. Pada tahun 1946, Satu tahun sebelum Pakistan merdeka ia berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya di Oxford University. Keputusannya merupakan awal sikap kontroversi Fazlur Rahman. Keputusan-nya untuk melanjutkan studi Islamnya ke Barat bukan tanpa alasan yang kuat. Kondisi obyektif masyarakat Pakistan belum mampu menciptakan iklim intelektual yang solid. Pada tahun 1951, Fazlur Rahman menyelesaikan studi doktornya di Oxford University dengan mengajukan disertasi tentang Ibnu Sina. Ia pernah mengajar di Universitas Durham untuk beberapa waktu, kemudian di Institute of Islamic Studic Research, Karachi.

Di antara karya-karyanya yang pernah dipublikasikan adalah: (1) Prophecy in Islam, London, 1958 : (2) Ibnu Sina, De Amina, (teks berbahasa Arab), Oxford, 1959 : (3) Islam; (4) Major Themes of the Qur'an, (5) Islamic Methodology in History, Islamabad, 1969. (6) Islam and Modernity Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago, 1982, dan beberapa tulisan atau buku lainnya.

Fazlur Rahman juga menjabat sebagai guru besar tentang pemikiran Islam di University of Chicago. Pada tahun 1970 Fazlur Rahman hijrah ke Amerika, ia menjadi Guru Besar kajian Islam dalam berbagai aspeknya di Departement of Near Eastem Languages and Civilization, University of Chicago. Keputusan-nya hijrah ke Chicago didasarkan pada pengalaman pengabdiannya di Pakistan, negeri dan tanah airnya sendiri. Bahwa Pakistan dan negeri-negeri Muslim lainnya belum siap menyediakan lingkungan kebebasan intelektual yang bertanggung jawab.

Fazlur Rahamn bukanlah seorang tokoh parsial dalam aspek pemikiran tertentu, misalnya teologi, filsafat, hukum Islam dan sebagainya, tetapi ia hampir-hampir mengkaji dan menguasai segala aspek pemikiran Islam dalam posisi yang hamper merata. Keseluruhan pemikiran Fazlur Rahman merupakan wujud dan kesadarannya akan krisis yang dihadapi Islam dewasa ini, di mana krisis tersebut sebagian berakar dalam sejarah Islam sendiri, dan sebagian lagi adalah tantangan modernitas. Dengan dorongan rasa tanggung jawab terhadap Islam, umat dan masa depan mereka di tengah tengah modernitas dewasa ini, Fazlur Rahman mengabdikan potensi intelektualnya untuk mengatasi krisis tersebut.

Fazlur Rahman menyuguhkan analisis perkembangan pendidikan tinggi Islam dan merumuskan alternatif metodologi pemikiran keislaman, sebagai rumusan jalan keluar dari seluruh kritisisme atas sejarah pemikiran keislaman. Fazlur Rahman sangat menyadari bahwa Krisis metodologi adalah penyebab kemunduran pemikiran Islam. Fazlur Rahman memandang bahwa alternatif metodologi adalah sebagai titik pusat penyelesaian krisis intelektualisme Islam. Implikasi dari alternatif metodologis ini merupakan proyek besar ummat Islam mengarah pada pembaharuan pemikiran Islam. Proyek besar tersebut memerlukan waktu yang panjang juga memerlukan sarana penunjang, yang tidak lain adalah sistem pendidikan Islam. Menurutnya Sistem pendidikan harus terlebih dahulu dimodernisasi, maka hal itu akan membuatnya mampu menyokong produktivitas intelektual Islam dengan cara menaikkan standar-standar intelektualnya.

Penyelenggaraan pendidikan tinggi Islam sekarang ini telah mengalami proses dikotomi yaitu menerapkan metode dan muatan pendidikan barat dengan menambah beberapa mata pelajaran agama Islam dengan metode dan muatan Islami yang berasal dari zaman klasik yang belum dimodernisasi secara mendasar. Penyelenggaran pendidikan Islam belum mengacu dan mengantisipasi zaman yang sedang berubah, tetapi hanya menjaga dan melestarikan segala warisan yang bersifat klasik.

Fazlur Rahman menjadikan Al-Quran sebagai sentral penelitian untuk membangun konsep-konsep metodologis dan rumusan metodis interpretasi Al-Quran. “Pemahaman Al-Quran dengan konteks kemoderenan” merupakan tujuan yang hendak disumbangkan oleh Fazlur Rahman melalui usaha keras dalam membangun konsep dan merumuskan pemikirannya.
Program Fazlur Rahman yang terbesar adalah keberhasilannya merancang metode baru dalam penafsiran Al-Qur’an. Fazlur Rahman menyadari bahwa masalah internal yang harus diselesaikan oleh modernisme kontemporer. Masalah tersebut, menurutnya tidak cukup diselesaikan melalui gerakan reformasi tetapi harus diselesaikan melalui upaya-upaya rekonstruksi pemikiran Islam.

B. Pendidikan Islam dalam perspektif sejarah menurut Fazlur Rahman
Menurut Rahman, pendidikan islam ketika masa Rasulullah menerapkan metode membaca dan menulis, tetapi yang paling lazim adalah menghafal al-Qur’an dan al-Hadis. Namun ada juga kelompok kecil yang berusaha mengembangkan kemampuan intelektual. Kemudian pada masa abbasiyah, khalifah-khalifah tertentu, sepaerti Harun al- Rayid dan al-Makmun menekankan adu pendapat diantara para pelajar diistana mengenai persoalan logika, hukum, gramatika, dan sebagainya.

Selanjutnya yang dihadapi oleh institusi ini adalah masalah sumberdaya manusia. Selama dipimpin oleh fazlur Rahman (1962-1968) strategi yang dicoba diterapkan untuk mengatasi permasalahan ini adalah: mengangkat beberapa lulusan madrasah yang mempunyai pengetahuan bahasa inggris, memberikan mereka pelatihan teknik penelitian modern, merekrut sarjana yunior lulusan unuversitas jurusan filsafat atau ilmu-ilmu sosial, dan memberikan mereka pengetahuan bahasa arab dan disiplin ilmu islam klasik yang penting seperti Hadia dan Hukum islam. Disamping usaha-usaha itu, dilakukan juga dengan cara mengirim beberapa orang keluar negeri untuk memperoleh pelatihan dan gelar dalam studi islam, baik dinegara barat maupun timur. Fazlur Rahman juga berusaha mengundang doktor-doktor dari barat untuk menjalin kerjasama dan mengawasi riset yang dilakukan oleh para mahasiswa. Namun, usahanya gagal karena tidak adanya doktor yang seperti itu.

Secara mendasar, pembaharuan pendidikan islam, menurut Rahman, dapat dilakukan dengan menerima pendidikan sekuler modern, kemudian berusaha memasukinya dengan konsep-konsep islam. Secara detail menurut Rahman, pembaharuan pendidikan umat islam mendesak untuk segera dilakukan dengan cara:
Pertama, membangkitkan idiologi umat islam tentang pentingnya belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan . kedua, berusaha mengikis dualisme sistem pendidikan umat islam. Pada satu sisi lain, ada pendidikan modern (sekuler). Kedua sistem pendidikan ini sama-sama tidak beresnya. Karena itu, perlu ada upaya untuk mengintegrasikan keduanya. Ketiga, menyadari betapa pentingnya bahasa dalam pendidikan dan sebagai alat untuk mengeluarkan pendapat-pendapat yang orisinil. Menurut Rahman umat islam lemah dibidang bahasa. Bahkan ia katakan umat islam adalah masyarakat tanpa bahasa. Keempat, pembaharuan dibidang metode pendidikan islam, yaitu beralih dari metode mengulang-ulang dan menghafal pelajaran ke metode memahami dan menganalisis.

C. Pendidikan Islan menurut Fazlur Rahman
Pendidikan islam menurut Fazlur Rahman bukan sekedar perlengkapan dan peralatan fisik atau kuasi fisik pengajaran seperti buku-buku yang diajarkan ataupun struktur eksternal pendidikan, melainkan sebagai intelektualisme islam karena baginya hal inilah yang dimaksud dengan esensi pendidikan tinggi islam. Hal ini merupakan pertumbuhan suatu pemikiran islam yang asli dan memedai, dan yang harus memberikan kriteria untuk menilai keberhasilan atau kegagalan sebuah sistem pendidikan islam.

Pendidikan islam dapat mencakup dua pengertian besar. Pertama, pendidikan islam dalam pengertian praktis, yaitu pendidikan yang dilaksanakan didunia islam seperti yang diselenggarakan dipakistan, Mesir, Sudan, Saudi, Iran, Turki, Maroko, dan sebagainya, mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Untuk konteks Indonesia, meliputi pendidikan dipesantren, di madrasah (mulai dari ibtidaiyah sampai aliyah), dan diperguruan tinggi islam, bahkan bisa juga pendidikan agama islam disekolah (sejak dari dasar sampai lajutan atas) dan pendidikan agama islam diperguruan tinggi umum. Kedua, pendidikan tinggi islam yang disebut dengan intelektualisme islam. Lebih dari itu, pendidikan islam menurut Rahman dapat juga dipahami sebagai proses untuk menghasilkan manusia (ilmuwan) integratif, yang padanya terkumpul sifay-sifat seperti kritis, kreatif, dinamis, inovatif, progresif, adil, jujur, dan sebagainya.

Dengan mendasarkan pada al-Qur’an, tujuan pendidikan menurut Fazlur Rahman adalah untuk mengembangkan manusia sedemikian rupa sehingga semua pengetahuan yang diperolehnya akan menjadi organ pada keseluruhan pribadi yang kreatif, yang memungkinkan manusia untuk memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kebaikan umat manusia dan untuk menciptakan keadilan, kemajuan, dan keteraturan dunia.

D. Kritis dan Kreatif dalam Pendidikan Islam
Sifat kritis merupakan karakter utama Fazlur Rahman. Sifat kritis ini ditujukan oleh Rahman baik pada warisan islam sendiri maupun pada peradaban barat. Kritis terhadap peradaban barat menjadi penting karena peradaban ini telah mendominasi peradaban dunia selama beberapa abad terahir. Dengan domonasinya, peradaban barat sangat besar pengaruhnya pada peradaban umat islam sekarang. Oleh karena itu, para pemikir muslim harus betul-betul kritis terhadap peradaban tersebut. Disamping kritis pada diri Fazlur Rahman juga selalu mengalir sifat kreatif.

Kemampuam memecahkan masalah terkait erat dengan kemampuan kritis dan kreatif. Bahakan, dapat dikatakan bahwa menumbuhkembangkan kemampuan memecahkan masalah juga menumbuhkembangkan sifat kritis dan kreatif. Memecahkan masalah tidak hanya dalam konteks ilmu pengetahuan, tetapi dalam semua aspek kehidupan. Pemecahan masalah bergerak dari masalah sederhana yang hanya menggunakan akal sehat sampai pada pemecahan masalah muskil yang menuntut prosedur berpikir yang lebih kompleks.

Proses berpikir untuk memecahkan masalah berlangsung dalam empat tahap, yaitu: (1) tahap persiapan dimana masalah diselidiki dari segala arah sehingga semua informasi tentang masalah ditemukan. Kemudian masalah dianalisis dan didefinisikan. Proses ini menyangkut klasifikasi dan penilaian masalah. (2) tahap inkubasi dimana masalah seakan-akan terbawa tidur, tidak terpikirkan secara sadar dan dinamis, tetapi masalah itu merasuk kealam pikir yang nantinya akan mengalir keluar dalam wujud iluminasi kreatif. Tahap (3) disebut tahap ilmunisasi dimana ide atau kesimpulan baru muncul tidak terduga. (4) akhirnya suatu usaha sadar dilakukan untuk mencoba menentukan keshahihan dari kesimpulan yang didapat tadi sesuai dengan kriteria atau aturan-aturan ilmiah, baik dengan menggunakan langkah-langkah logika maupun eksperimen.

Pada awalnya sifat kritis dan kreatif yang diperlukan adalah yang memungkinkan peserta didik berani dan memiliki rasa percaya diri untuk memahami wahyu secara langsung. Mereka tidak lagi menganggap bahwa hasil pemahaman ulama terhadap wahyu pada masa lalu merupakan hasil yang sudah fnal. Hasil-hasil ijtihad ulama masa lalu yang cocok untuk mengatasi persoalan pada waktu itu, belum tentu cocok untuk mengatasi persoalan sekarang dan masa mendatang. Oleh karena itu, mereka harus senantiasa melakukan ijtihad, guna untuk mengatasi persoalan-persoalan yang mereka hadapi.

Tujuan dikembangkannya daya kritis dan kreatif dalam pendidikan islam adalah untuk menghasilkan output yang kritis dan kreatif. Atau dengan kata lain, pendidikan islam harus dapat mengembangkan anak didik yang kritis dan kreatif. anak didik yang kritis dan kreatif paling tidak mempunyai tiga ciri yang menonjol, yaitu: (1) mempunyai pemikiran asli atau orisinil (originality). (2) mempunyai keluwesan (flixibility), (3) menunjukkan kelancaran proses berfikir (fluency).

Diantara kegiatan pembelajara yang dapat mengembangkan daya kritis dan kreatif subyek didik adalah kegiatan yang meminta mereka, misalnya, mengubah warna, bentuk, disain, atau model, dan sebagainya. Dapat juga dikembangkan dengan cara mengarang. Misalnya, mereka disuruh membuat karangan bebas. Melalui karangan bebas, guru dapat dengan mudah mengetahui tingkat kekritisan dan kreatifitas mereka. Apakah mereka cenderung mencontoh karangan atau model yang sudah ada ataukah menciptakan sesuatu yang lain, menunjukkan kritis dan kreatif, atau tidaknya mereka.

Metode lain yang tidak kalah penting adalah metode diskusi. Sebaiknya, metode diskusi dilakukan dengan terbuka, dalam arti bahwa subyek didik bisa secara leluasa mengadakan diskusi, baik dengan guru maupun sesama teman-teman mereka, tanpa ada rasa takut dan batasan untuk mengemukakan gagasan-gagasan mereka. Guru hendaknya bertugas membuat kondisi semacam itu.

 

BAB III
PENUTUP
Kemunculan gagasan Rahman dilatarbelakangi oleh pengamatanya terhadap perkembangan pendidikan Islam di era modern di beberapa negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Turki, Indonesia, Mesir dan Pakistan. Menurut Rahman Pendidikan islam di negara-negara tersebut masih dihadapkan kepada beberapa problema pendidikan yang antara laian berkaitan dengan; (1) Tujuan Pendidikan tidak diarahkan kepada tujuan yang positif. (2) Dikotomi sistem pendidikan (3) Rendahnya kualitas anak didik, munculnya pribadi-pribadi yang pecah dan tidak lahirnya anak didik yang memiliki komitmen spiritual dan intelektual yang mendalam terhadap Islam (4) Sulitnya menemukan pendidik yang berkualitas dan professional serta memiliki pikiran yang kreatif dan terpadu, dan (5) minimnya buku-buku yang tersedia di perpustakaan.

 

DAFTAR PUSTAKA
Ghufron A. Mas'adi, 1997. Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodolog Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sutrisno,M. Ag, 2006. Fazlur Rahman; Kajian terhadap Metode, Epistemelogi dan Sistem Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Taufik Adnan Amal, 1994. Islam dan Tantangan Modernitas, Bandung: Mizan.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons